Geruduk Habib Bahar, Eks Pangdam I/Bukit Barisan: Danrem Tabrak 4 UU Sekaligus

Danrem 061/Suryakencana Brigjen TNI Achmad Fauzi yang mendatangi Habib Bahar Smith telah menabrak empat undang-undang (UU). Sesuai UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara, pasal 13-16, pelaksana tugas teknis di lapangan yang memiliki kewenangan adalah Polri. Melalui Forkominda, yang dipimpin oleh Bupati, Bupati, akan menelaah apakah persoalan itu sudah mengganggu dan menimbulkan keresahan umum, serta cenderung memecah belah bangsa.

“Jadi yang maju pertama adalah Kesbangpol dibantu Polri (Polres). Kodim memonitor untuk pembinaan ruang. Jadi kalau ujug-ujug geruduk seperti itu, itu jelas salah kapling,” tegas mantan Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen (Purn) Tri Tamtomo dikutip dari itoday.

Secara khusus Tri Tamtomo mengingatkan, agar prajurit TNI tidak menabrak rambu-rambu yang ada. “Di sini harus ada kesadaran dari prajurit di lapangan. Danrem 061 sebagai penguasa wilayah teritorial di Bogor supaya paham, bahwa apa yang dilakukan tidak pas. Kenapa tidak pas? Karena rambu-rambu yang ada ditubruk. Bahwa jangan sampai kita mengikuti anutan emosional pribadi karena ingin mendapatkan pujian, kita menabrak norma yang berlaku. Loyalitas kita adalah tegak lurus ke atas dalam rangka negara bangsa,” urai Tri Tamtomo.

Mantan pengajar utama Lemhanas ini membeberkan 4 undang undang dan 1 Permendagri untuk membedah tindakan Danrem 061 yang dimaksud. Yakni, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU 17/2011 tentang Intelijen Negara, bunyi UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU/PRP 23/1959 tentang Keadaan Bahaya, dan Permendagri 11/2006 tentang Kominda.

“Danrem 061 mungkin hanya membaca UU 34/2004 tentang TNI. Bicara pasal 7 sampai pasal 10. Tapi jangan lupa, yang bersangkutan menyatakan sebagai penguasa wilayah. Tolong baca UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah,” tegas Tri Tamtomo.

Menurut Tri Tamtomo, jika bicara pemerintah daerah, di propinsi ada Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD), yakni Gubernur, Pangdam, Kapolda, Kajari, Kajati dan pedukung lain. Sedangkan di Kabupaten/Kota, ada SKPD (Satuan Kerja Pimpinan Daerah), yang anggotanya adalah bupati/walikota, Dandim, Kapolres, Kajari, Ketua DPRD. “Di mana posisi Danrem? Dia selaku SKPD plus. Jadi tidak fungsional melekat sebenarnya. Dia hanya diberi tanggungjawab sesuai komando untuk membawahi beberapa wilayah Kodim,” tegas Tri Tamtomo.

Kedua, Danrem 061 melanggar UU 17/2011 tentang Intelijen Negara. Alasannya, yang bertugas secara fungsional di wilayah kabupaten adalah bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Danrem sebagai tambahan (plus).

“Dia lupa membaca UU 17/2011 tentang Intelijen Negara. Dari UU ini keluar aturan turunan Perpres 90/2012 tentang BIN dan BINDA. Terkait ini, kejadian itu terjadi di wilayah Kabupaten Bogor. Yang kebetulan beliau bertugas di wilayah Bogor,dan Habib Bahar berdomisili di Bogor. Kalau bicara Forkominda, itu di wilayah Kabupaten Bogor yang fungsional adalah Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan plus-nya Danrem,” urai Tri Tamtomo.

Ketiga, menurut Tri Tamtomo, Danrem 061 tidak membaca UU/PRP 23/1959 tentang Keadaan Bahaya. “Di sini Danrem 061 harus melihat bahwa ekskalasi aman, rawan, gawat, krisis. Ini penanggungjawabnya sudah diatur. Pada kejadian ini, pada tanggal 31 Desember 2021 adalah dalam kondisi aman. Semua gatra berjalan normal. Gatra kehidupan berjalan normal, pemerintahan berjalan normal, tetapi Danrem masuk! Harusnya di sini yang membantu bupati adalah Kapolres, dan Dandim masuk. Kendali wilayah adalah Bupati Bogor. Mungkin Danrem lupa, pada kondisi aman semua mengerucut kepada Bupati. Bupati harus diajak bicara,” beber Tri Tamtomo.

Selanjutnya keempat, Tri Tamtomo meminta Danrem 061 harus paham bunyi UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara. “Di pasal 13,14,15, dan 16, yang dilakukan prajurit TNI di wilayah Bogor tersebut itu menjadi domain dari Polri,” tegas Tri Tamtomo.

Terakhir, aksi Danrem 061 bersinggungan dengan Permendagri 11/2006 tentang Kominda. “Dalam hal ini, Danrem juga harus tahu, bahwa Kemendagri juga mengeluarkan Permendagri 16/2012 tentang Kominda, komunikasi intelijen daerah. Yang unsurnya dari Pemda, bupati/walikota sebagai ketua, terus sampai dengan sekretaris. Ketuanya adalah Kabinda setempat, Wakabinda, itu dari kepolisian. Dan lain sebagainya. Yang mambahas masalah astagatra yang berada di wilayah itu,” papar Tri Tamtomo.

Berdasarkan telaah 4 Undang Undang dan 1 Kemendagri tersebut Tri Tamtomo menyampaikan lima point kesimpulan. Pertama, prajurit penguasa teritorial di wilayah itu kurang melaksanakan K3I ke samping, ke bawah dan ke atas. “Kedua, Danrem 061 melakukan pendekatan yang salah. Harusnya pendekatan manusiawi, bukan pendekatan kekuasaan,” sambung Tri Tamtomo.

“Ketiga, pernyataan Habib Bahar sebagai anak bangsa secara keseluruhan adalah mengkoreksi tindakan prajurit TNI yang memang harus dikoreksi. Keempat, ini bukan situasi merah. Tidak boleh ada diskresi di sini,” lanjut Tri Tamtomo.

Terakhir, Tri Tamtomo memastikan bahwa hal itu bukan merupakan tugas dan tanggungjawab Danrem 061/Suryakencana. “Harus paham akan tugasnya. Dengan kemampuan teritorial yang disandang, Danrem harus menyiapkan strategi agar menjadi ruang alat juang yang tangguh dalam menyiapkan cegah tangkal dini terhadap segara ancaman. Intinya, dalam hal seperti ini jangan mencederai rakyat,” pungkas Tri Tamtomo.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News