Menolak Lupa Tragedi Aksi Bela Islam 411

Tak Berkategori

Oleh : Tatang Hidayat

Sungguh Aksi Bela Islam 4 November 2016 (411) dengan segala cerita dan kenangan indah didalamnya pasti akan selalu diingat oleh para alumninya sampai kapanpun. Begitupun para alumni Aksi Bela Islam 411 tidak akan melupakan tragedi bagaimana brutalnya aparat ketika membubarkan peserta aksi dengan penembakan gas air mata. Bahkan, penulis tak mampu menahan tetesan air mata ketika beberapa kali melihat tayangan bagaimana para ulama dilempari gas air mata di mobil komando, terutama ketika melihat guru kami al-Habib Muhammad Rizieq Shihab diperlakukan tanpa adab oleh para aparat.

Aksi Bela Islam 411 dilakukan bukan tanpa alasan, aksi tersebut sebagai bentuk pembelaan terhadap Al-Qur’an yang dilecehkan karena pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang membahas penggunaan Surat Al-Maidah ayat 51, adapun pernyataan Ahok yang menjadi sorotan termuat dalam pidatonya di hadapan warga kepulauan seribu pada 27 September 2016.

Sebelum keberangkatan, sebagaimana biasa setiap malam Jum’at di Pondok Pesantren Manarul Huda Bandung rutin diadakan Riyadhoh yang diasuh oleh KH. Athon Shultoniyyah. Riyadhoh pada malam itu sekaligus untuk melepas santri Pondok Pesantren Manarul Huda Bandung untuk mengikuti Aksi Bela Islam 411. Sungguh menjadi kebahagiaan bagi penulis selaku santri, keberangkatan kami dalam mengikuti Aksi Bela Islam 411 direstui bahkan dilepas langsung oleh Kyai.

Suasana Aksi Bela Islam 411 sungguh menjadi pengalaman yang sangat indah dan tidak akan dilupakan oleh penulis. Bagaimana tidak, jutaan kaum Muslimin berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk membela agama mereka tanpa sedikitpun mengharapkan imbalan dunia. Mereka berkorban masing-masing untuk bisa berangkat ke Jakarta, ada yang berangkat dengan pesawat, kereta, bis, mobil, motor dan jalan kaki. Pertanyaannya, siapakah yang menggerakkan mereka semua ? Tentunya dorongan Aqidah-lah yang menggerakkan mereka semua, karena partai politik manapun tidak akan mampu membiayai selama berlangsungnya Aksi Bela Islam.

Tepat pukul 08.00 pagi, penulis dengan beberapa rombongan sampai di Masjid Istiqlal. Masya Allah suasana pagi itu begitu ramai dan sudah dipenuhi peserta aksi lengkap dengan atribut bendera organisasi masing-masing. Terlihat waktu itu ada bendera dari berbagai macam organisasi diantaranya Front Pembela Islam, Persatuan Islam, Majelis Az-Zikra, dan tentunya tidak ketinggalan bendera dan panji kebanggaan umat Islam yakni Al-Liwa dan Ar-Rayah.

Suasana Masjid Istiqlal pagi itu sudah padat, padahal waktu menuju shalat Jum’at masih lama. Terlihat beberapa peserta aksi mengisi waktu tersebut dengan membaca Al-Qur’an. Shalat, diskusi dengan teman sambil menghilangkan lelah dan beberapa terlihat ada yang istirahat, mungkin mereka sudah melaksanakan perjalanan sangat jauh dari kampung halamannya. Di tengah suasana itu, tanpa sengaja penulis bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan yaitu para santri Ma’had Usyaqil Qur’an yang turut ikut Aksi Bela Islam 411. Penulis akhirnya melepas rindu dengan para santri yang sudah lama tidak berjumpa. Akhirnya kita saling berbagi cerita mengenang masa-masa indah ketika sama-sama berjuang menghafal Al-Qur’an.

Saat bercengkrama dengan santri, penulis akhirnya teringat kembali masa-masa yang paling bahagia ketika menjadi santri dan penulis rasanya ingin kembali merasakan suasana yang bahagia itu untuk kembali menjadi santri penghafal Al-Qur’an dibawah asuhan guru kami Ustadz Muhammad Suhud al-Hafizh (Abi Suhud).
Begitu banyak kenangan indah penulis bersama beliau, bagaimana kesabaran beliau dalam mendidik santrinya, dan keramahan beliau bisa menerima penulis menjadi santrinya.

Didikan guru kami Abi Suhud sukses menghantarkan santrinya bukan hanya sebagai penghafal Al-Qur’an, tetapi juga sebagai penjaga Al-Qur’an.

Itu terlihat ketika Aksi Bela Islam 411, para santri Ma’had Usyaqil Qur’an berikut pengurus pesantren untuk sementara meninggalkan keseharian mereka dalam menghafal Al-Qur’an di Ma’had untuk mengikuti Aksi Bela Islam 411.

Menjadi aib bagi kami ketika Al-Qur’an dinistakan namun kami tidak melakukan apa-apa, sedangkan keseharian kami sibuk dengan Al-Qur’an. Apa artinya hafalan Al-Qur’an kami jika untuk membela Al-Qur’an saja kami tidak mampu. Karena, Al-Qur’an bukan hanya untuk dihafal, tetapi buah dari hafalan itu semua tentunya adalah pengamalan Al-Qur’an, salah satunya dengan membela Al-Qur’an ketika ada yang menistakan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.00. Shalat Jum’at pun akan segera dilaksanakan. Nampak pada saat itu, peserta aksi memadati masjid Istiqlal sampai jama’ah shalat Jum’at tidak tertampung di dalam masjid. Sehingga shalat Jum’at pun digelar di beberapa tempat, sampai shaf jama’ah luber memenuhi jalan-jalan sekitar masjid Istiqlal.

Setelah shalat Jum’at, nampak suara guru kami al-Habib Muhammad Rizieq Shihab memberikan arahan supaya aksi berjalan tertib sekaligus beliau memimpin melantunkan Mars Aksi Bela Islam yang semakin menambah semangat aksi pada saat itu. Adapun komando aksi saat itu dipimpin oleh Ustadz Bachtiar Nasir, setelah diberikan komando, para peserta aksi mulai meninggalkan masjid Istiqlal dengan tertib untuk menuju istana.

Sungguh udara Jakarta saat itu tidak panas menyengat, bahkan cuacanya cerah dan sesekali ditemani tiupan angin yang menyegarkan. Padahal sebelumnya dari pihak BMKG sudah memprediksi akan terjadi hujan lebat, bahkan kami mendapat info dimana dari pihak mereka sudah menyebar garam di udara supaya turun hujan, ditambah kekuatan mistik para dukun diturunkan supaya terjadi hujan. Namun, atas kuasa Allah Subhaanahu Wa Ta’aala ternyata makar mereka tidak terjadi, hujan tidak turun, yang ada sebaliknya, cuaca Jakarta saat itu cerah dan matahari tidak menyengat.

Dari siang hingga Maghrib aksi berjalan sangat damai, bahkan ada kejadian yang menarik ketika ada sepasang pengantin nasrani yang akan melaksanakan pernikahan di Geraja Katedral, mereka terjebak dalam jutaan massa aksi. Namun apa yang terjadi, ternyata perserta aksi membukakan jalan untuk mereka lewat, bahkan peserta aksi mengingatkan calon pengantin perempuan supaya hati-hati dengan gaunnya supaya tidak kotor. Apakah sikap seperti ini yang disebut intoleran, radikal, dan makar ?

Sungguh bagi siapa saja yang masih memiliki akal yang waras pasti akan menjawab bahwa ini merupakan sikap toleransi yang sesungguhnya, karena toleransi tidak cukup hanya untuk diteorikan, ataupun terus diiklankan, bahkan diseminarkan dengan menghambur-hamburkan uang dan waktu, hingga tebar pesona kemana-mana seolah-olah dirinya paling toleran. Tetapi, toleransi perlu bukti yang nyata, bukan hanya tebar pesona kemana-mana namun tidak ada pengamalan yang nyata di lapangan.

Suasana aksi tersebut berubah setelah waktu Isya. Dikarenakan ada sekelompok kecil massa yang melakukan provokasi, luar biasanya ternyata para laskar dari Front Pembela Islam pun pasang badan membuat barisan untuk melindungi blokade polisi. Habib Rizieq yang berada di mobil komando terus memberikan instruksi untuk tetap tenang dan jangan terpancing emosi.

Namun anehnya, bukannya mengisolasi ataupun meringkus para provokasi, polisi malah menembakkan gas air mata. Bukan hanya kepada provokator, tetapi gas air mata itu dengan brutalnya ditembakkan kepada peserta aksi termasuk mobil komando. Entah siapa yang memberikan komando aparat, pada saat itu aparat menembakkan gas air mata dengan brutalnya kepada para peserta aksi. Motor polisi pun meraung-raung dan menggilas beberapa peserta aksi. Habib Rizieq tetap menyerukan peserta untuk melawan dengan diam, dan Habib Rizieq memimpin do’a saat situasi memanas.

Menariknya, ketika polisi mengarahkan tembakan gas air mata ke mobil komando, atas kuasa Allah Subhaanahu Wa Ta’aala angin pun berhembus membelokkan gas tersebut ke arah polisi dan para petinggi pemerintah yang ada dalam pagar istana.

Sungguh penulis selalu meneteskan air mata ketika melihat tayangan brutalnya aparat dalam membubarkan peserta aksi, terutama penulis mengkhawatirkan keselamatan yang mulia al-Habib Muhammad Rizieq Shihab.

Coba bayangkan, dalam kondisi umat berkumpul, berdesak-desakan, dalam kondisi lelah, lapar, haus, dan kurang oksigen kemudian dilempari gas air mata. Dengan kondisi tersebut, secara logika mungkin akan ada ribuan peserta aksi yang meninggal. Akal sehat manapun tidak bisa membenarkan, dikerumunan manusia jutaan, dilemparkan gas air mata bukan hanya satu dua, tapi dibrondong. Tentu ini tindakan aparat yang sangat brutal, sangat biadab, sangat kejam dan sangat keji. Kalau tanpa pertolongan Allah Subhaanahu Wa Ta’aala mungkin ribuan yang sudah mati.

Coba sekali lagi bayangkan, jutaan orang sedang berkumpul, desak-desakan, jangankan untuk lari, gerak kanan kiri saja mereka tidak bisa, ditambah mereka lapar dan haus, mereka kehabisan tenaga dan kekurangan oksigen, dalam kondisi yang sangat lemah sekali. Dalam situasi seperti itu seandainya ditembakkan gas air mata satu saja tentunya sudah mematikan, bagaimana kalau ini dibrondong. Udah gitu gas air mata yang ditembakkan dengan kadar very strong, dalam UU Internasional sebenarnya itu tidak boleh. Gas air mata dengan kadar very strong itu bukan untuk pembubaran, tetapi pembunuhan massal.

Sungguh saya sangat big respect khususnya kepada keberanian al-Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam memimpin aksi saat itu, keberanian dan semangat ruhul jihad beliau mampu membangkitkan semangat umat dalam membela agama. Seandainya bukan karena Habib Rizieq, siapa yang akan memimpin selama Aksi Bela Islam ?
Yaa Habibana, mudah-mudahan suatu saat saya bisa mewujudkan salah satu impian saya untuk bisa menjadi santri-mu, aamiin.

Sungguh setelah tragedi Aksi Bela Islam 411 berlangsung, kejadian tersebut semakin membuka mata hati saya untuk bisa melanjutkan perjuangan para Ulama akhirat dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Mereka korbankan keluarga, pikiran, tenaga, harta bahkan nyawa. Setelah kejadian tersebut, saya semakin cinta dan tidak mau jauh-jauh dengan para ‘Alim Ulama akhirat. Karena Ulama akhirat akan selalu beramal dengan ilmunya, dan itu berbeda dengan ulama dunia yang menggadaikan akhirat demi kepentingan dunianya. Para Ulama akhirat akan senantiasa mengetuk pintu langit dalam setiap do’anya. Bukan sebaliknya, mengetuk pintu para penguasa untuk menjadi penjilat dunia demi kepentingan perutnya.

Maka sudah sepantasnya para Ulama dengan keilmuan yang dimilikinya menjadi garda terdepan dalam membela kemuliaan Al-Qur’an, dan umat akan mengikuti di belakangnya. Para ulama akhirat tidak pernah menyembunyikan hukum-hukum Islam yang ditanyakan kepada mereka, baik dalam masalah-masalah keumatan, masalah-masalah kenegaraan, maupun masalah-masalah yang menyangkut perilaku para penguasa.

Itulah para ulama yang layak mendapatkan gelar yang mulia, yakni sebagai pewaris para Nabi, Ulama yang selalu takut kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aala.

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa sallam juga meridhai hal yang demikian, sehingga mereka layak menyandang gelar pewaris para nabi yang senantiasa menyampaikan risalah/kebenaran Islam kepada seluruh umat manusia. Wajar jika kita jumpai, bahwa sepanjang sejarah Islam yang agung, para ulama yang shalih senantiasa menjalani seluruh hidupnya semata-mata demi Islam.

Terakhir sebelum menutup tulisan ini, izinkan penulis menyampaikan salam ta’dhim dan salam kerinduan yang sudah tak tertahankan untuk bertemu yang mulia al-Habib Muhammad Rizieq Shihab dan semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’aala selalu melindungi semua perjuangan yang engkau lakukan wahai guru kami Yaa Habibana al-Habib Muhammad Rizieq Shihab. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Wallaahu ‘Alam bish-Shawab.

Ketua Badan Eksekutif Koordinator Daerah Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BE Korda BKLDK) Kota Bandung.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News