Penyebaran terorisme melalui bahasa Arab harus dilihat secara konstektual. Satu pihak bahasa Arab digunakan secara resmi di PBB. Di pihak lain bahasa Arab dipakai kelompok terorisme.
“Terkait dengan bahasa Arab, tentu saya sangat respek dengan bahasa tersebut. Ada perbedaan konteks bahasa Arab sebagai alat komunikasi resmi di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Red) dengan penggunaannya sebagai bahasa sehari-hari dalam pergaulan suatu bangsa yang sudah memiliki bahasa nasional, seperti halnya bahasa kita, bahasa Indonesia,” kata pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati kepada wartawan, Rabu (8/9/2021).
Ia pun meminta maaf bila ada yang tidak setuju atas pernyataannya terkait bahasa Arab. “Dalam hal ini, mohon maaf bila ada yang tidak sependapat dengan saya,” kata dia.
Dikatakan, dalam webinar yang diselenggarakan medcom dirinya menyampaikan apa adanya berbagai temuan terkait dengan embrio terorisme dan radikalisme, termasuk cikal bakalnya yang tumbuh berkembang diawali dari dunia pendidikan di Indonesia. “Hal ini yang saya utarakan pada webinar tersebut,” katanya.
Tentu saja, kata Nuning, tidak semua lembaga pendidikan berbasis Islam itu bisa dikatakan sebagai embrio radikalisme atau bahkan Taliban. Masih ada yang mengikuti peraturan perundangan yang berlaku di negara ini. Apalagi, ujarnya, soal (radikalisme di dunia) pendidikan itu sudah ada banyak lembaga yang melakukan riset.