Rezim memunculkan konflik jika bersikeras melakukan amandemen UUD 45 dengan tujuan memperpanjang jabatan presiden.
“Tetap melanjutkan amandemen UUD 45, rezim memunculkan konflik,” kata pengamat kebijakan publik Amir Hamzah kepada wartawan di kawasan Cut Mutia, Jakarta Pusat, Jumat (26/8/2021).
Menurut Amir, MPR harusnya terbuka kepada masyarakat terhadap amandemen UUD 45. Begitu pula DPD harus menerima pendapat masyarakat terkait keinginan amandemen UUD 45. “Adanya pertentangan di masyarakat terkait amandemen UUD 45 karena komunikasi yang buruk dilakukan MPR,” paparnya.
Amir juga menyoroti MPR yang jngin melakukan amandemen UUD 45 dengan memunculkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). “Kedudukan MPR harus diubah dulu menjadi lembaga tertinggi negara ketika menyerahkan PPHN ke Presiden. Selama ini kedudukan presiden sama dengan MPR,” jelasnya.
Konsep kembali ke UUD 45, kata Amir tidak memunculkan gejolak di masyarakat telah digagas para intelektual, Purnawiran TNI dengan cara addendum. Artinya, perubahan UUD 1945 itu dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli sebagaimana terdapat dalam Lembar Negara Nomor 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah perubahan-perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.
“Pada Pasal 7 UUD 45 sebelum amandemen disebutkan presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ini yang membuka peluang presiden dipilih berkali-kali. Maka untuk mengantisipasi perlu addendum membatasi jabatan presiden dan wakil presiden,” paparnya.
Selain itu, Amir menyoroti PAN yang bergabung ke koalisi pemerintahan Jokowi. “Masuknya PAN ke koalisi Jokowi sebagai tindakan politik yang memalukan. Jadi bahan tertawaan rakyat,” pungkasnya.