Sri Mulyani Minta Warga Bayar Pajak demi Bayar Utang Negara, Musni Umar: Beban Rakyat Makin Berat

Tak Berkategori

Sosiolog Musni Umar menyoroti pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut pemerintah akan mampu membayar utang asalkan rakyat patuh membayar pajak.

Pernyataan tersebut, menurutnya, mencerminkan pemerintah hanya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan anggaran, termasuk salah satunya dengan utang kepada luar negeri, namun berujung pada harapan pendapatan dari sektor pajak.

Musni Umar menyebutkan, pernyataan dari Sri Mulyani membuktikan bahwa rakyat lah yang punya peran penting dalam menanggung utang pemerintah yang selama ini dianggap jor-joran oleh sejumlah pihak.

“Ini bukti, yang bayar utang adalah rakyat melalui pajak. Pemerintah hanya sebagai mediator untuk bayar utang. Makin besar utang makin besar dan berat beban rakyat,” tulis Musni Umar di Twitter, dikutip pada Kamis (26/8/2021).

Sebelumnya, diberitakan sejumlah media, Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini pemerintah bisa membayar tunggakan utang apabila penerimaan pajak berhasil dikumpulkan.

Ia menuturkan pemerintah mengambil pembiayaan utang untuk menutupi defisit fiskal karena berkurangnya penerimaan serta naiknya belanja selama pandemi covid-19.

“Penerimaan negara kita merosot, oleh karena itu kita masih harus mengalami defisit dan berutang. Namun, kita yakin bisa membayar lagi apabila penerimaan pajak bisa dikumpulkan,” ujarnya dalam acara Pajak Bertutur 2021, Rabu (25/8).

Menurut Sri Mulyani, sepanjang 2020 lalu penerimaan pajak mengalami kontraksi cukup dalam akibat pandemi.

Catatan Kementerian Keuangan, total penerimaan pajak sepanjang 2020 hanya Rp1.070 triliun.

Jumlah tersebut anjlok 19,7 persen dibandingkan dengan realisasi 2019 yang sebesar Rp1.332,7 triliun.

Bunga utang jadi beban

Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri menyatakan, bunga utang pemerintah pusat sudah kebanyakan porsinya hingga akan mencapai 20,9 persen pada tahun 2022.

“Beban utang bertambah berat karena lebih seperlima pengeluaran pemerintah pusat harus disisihkan untuk membayar bunga utang,” ujar dia mengutip tulisan di blog pribadinya, Kamis (19/8/2021).

Sementara, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen saat ini saja melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6 persen hingga 6,8 persen dan rekomendasi International Monetary Fund (IMF) sebesar 7 persen hingga 10 persen.

Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 persen hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 persen hingga 150 persen.

Faisal menjelaskan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah mengingatkan beban utang pemerintah telah melampaui beberapa standar internasional.

“Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen hingga 35 persen,” katanya.

Jadi, dia menamb6, jangan cuma melihat porsi utang Indonesia hanya 40 persen, jauh di bawah Jepang 237 persen, Yunani 177 persen, dan Singapura 133 persen.

Meskipun porsi utang ketiga negara itu sangat tinggi, beban pembayaran bunganya sangat rendah, masing-masing 9 persen untuk Jepang, 6,7 persen untuk Yunani, dan 0,6 persen untuk Singapura.

“Betapa terbatas kemampuan negara untuk mendorong tranformasi struktural untuk menghadapi tantangan nyata yang sudah di depan mata. Ruang fiskal semakin sempit karena dirongrong oleh kewajiban membayar bunga utang karena tak bisa ditawar-tawar, harga mati,” pungkasnya.

Posisi utang luar negeri Indonesia

Bank Indonesia dalam laporannya menyebutkan, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal II-2021 sebesar 415,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS), atau setara Rp5.969 triliun (asumsi kurs Rp14.380 per dolar AS).

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono mengatakan, angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

“Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2021 sebesar 415,1 miliar dolar AS, turun 0,1 persen (quarter to quarter/qtq) dibandingkan dengan posisi ULN triwulan I 2021 sebesar 415,3 miliar dolar AS,” ucap Erwin, Senin (16/8/2021).

Dirinya melanjutkan, secara tahunan, pertumbuhan ULN kuartal II 2021 juga melambat.

Dimana dari 7,2 persen (year on year/yoy) pada kuartal sebelumnya, menjadi 1,9 persen (yoy).

Perkembangan tersebut didorong oleh perlambatan pertumbuhan ULN Pemerintah dan kontraksi ULN swasta.

Untuk ULN Pemerintah, tercatat tumbuh lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.

Posisi ULN Pemerintah pada kuartal II 2021 mencapai 205 miliar dolar AS atau tumbuh 4,3 persen (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal I 2021 sebesar 12,6 persen (yoy).

Perkembangan ini disebabkan oleh penurunan posisi pinjaman luar negeri seiring dengan pelunasan atas pinjaman yang jatuh tempo selama kuartal II 2021.

“ULN Pemerintah tetap dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas,” ucap Erwin.

Sementara, untuk ULN swasta tercatat mengalami penurunan dibandingkan kuartal sebelumnya.

ULN swasta mengalami kontraksi sebesar 0,5 persen (yoy) pada kuartal II 2021, setelah pada kuartal I 2021 tumbuh positif sebesar 2,6 persen (yoy).

Hal ini disebabkan oleh kontraksi pertumbuhan ULN lembaga keuangan sebesar 6,8 persen (yoy), lebih dalam dari kontraksi kuartal sebelumnya sebesar 6,7 persen (yoy).

Selain itu, pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan mengalami perlambatan sebesar 1,3 persen (yoy) dari 5,4 persen (yoy) pada kuartal I 2021.

“Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” ucap Erwin.

“ULN Indonesia pada triwulan II 2021 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 37,5 persen, menurun dibandingkan dengan rasio pada triwulan sebelumnya sebesar 39,0 persen,” pungkasnya.
(Tribunnews)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News