Hakim Harus Baca Buku Putih Pembunuhan 6 Laskar FPI

Tak Berkategori

by Rizal Fadillah

Telah siap Kejaksaan untuk mengajukan dua Tersangka, yang sedunia merasa aneh, hingga kini masih dirahasiakan namanya. Publik hanya menduga bahwa kedua Tersangka adalah Fikri Ramdhani dan Yusmin. Dengan alasan masih aktif dan dijamin tidak akan melarikan diri maka keduanya tidak ditahan. Delik tuduhannya adalah pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) yang dilakukan secara bersama-sama (Pasal 55 KUHP).

Mengingat terdakwa adalah Polisi aktif yang sama-sama penegak hukum dengan Jaksa Penuntut Umum, maka dirasakan tidak mudah untuk memeriksa secara obyektif meski di ruang Pengadilan. Publik mengkhawatirkan baik Jaksa maupun Pengacara nantinya akan berada pada pos yang sama. JPU sulit untuk “all out” mengorek keterangan melainkan berpedoman pada skenario yang telah disepakati bersama antara Kejaksaan dan Kepolisian.

Majelis Hakim menjadi harapan dan penentu. Akan tetapi mengingat hal ini merupakan kasus politik bukan hukum ‘an sich’ maka tidak mustahil kekuasaan akan melakukan intervensi. Karenanya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus pembunuhan “crime against humanity” ini harus kuat dan mandiri. Menegakkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa atau tekanan politik penguasa.

Publik menyangsikan bahwa Fikri dan Yusmin adalah pelaku utama atau hanya mereka berdua yang melakukan. Ada pihak yang sesungguhnya lebih bertanggungjawab atas pembunuhan ini. Pengadilan diharapkan bukan selesai dengan menghukum keduanya, tetapi dari keduanya membongkar pelaku dan aktor intelektual kejahatan kemanusiaan tersebut.

Bongkar siapa komandan yang berada di mobil Land Cruiser hitam, bagaimana voice note antara petugas lapangan dengan atasan, siapa saja penumpang yang bukan aparat Kepolisian di mobil Avanza silver B 1278 KJD dan Avanza hitam B 1739 PWQ yang diduga membunuh dua orang anggota Laskar. Lalu “dimana” dan “siapa saja” yang menyiksa dan akhirnya membunuh keenam anggota laskar tersebut ? Atas perintah siapa semua kejahatan itu dilakukan ?

Majelis Hakim diharapkan seksama dalam menguak kasus. Menjadi awal dari pembuktian benar atau tidak dugaan atau kecurigaan publik. Hakim harus jujur dan benar-benar bekerja dengan keyakinan hati nurani. Tidak mudah terbeli. Ini adalah kasus berat yang dapat memuliakan atau menghinakan.

Para Hakim di samping membaca Kitab Hukum juga membaca Kitab Suci Agama-nya. Lalu baca juga hasil temuan dan analisa Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) yang dituangkan dalam Buku Putih “Pelanggaran HAM Berat” Pembunuhan Pengawal HRS. Bacaan ini sangat penting karena ada fakta hukum yang berguna bagi telaahan Majelis Hakim.

Buku Putih di atas mencoba membeberkan peristiwa sebenarnya dari kasus besar pelanggaran HAM berat yang justru dikecilkan dan dibuat seperti drama novel picisan. Nyawa manusia yang disampahkan. Mereka ingin menutupi kebiadaban dengan cara cara biadab.

Majelis Hakim diharapkan menjadi manusia yang berjubah kemuliaan. Menjunjung tinggi harkat dan derajat kemanusiaan. Bukan menjadi bagian dari kebiadaban. Pelaku dan penyuruh pembunuhan enam laskar pengawal HRS harus menerima hukuman yang berat. Semua yang terlibat baik petugas lapangan, atasan, maupun pengambil keputusan politik harus merasakan derita penjara.

Buku Putih menjadi bacaan wajib Majelis Hakim.

Harapannya para Hakim itu memiliki hati dan fikiran yang putih. Agar nanti di hari pengadilan akherat dapat berwajah putih karena telah berlaku adil. Bukan berwajah hitam yang akan diseret-seret dengan hina dan mengerikan.

Siksa yang dikhususkan bagi orang-orang yang telah berlaku zalim, apakah itu Penguasa ataupun Hakim.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 27 Agustus 2021

Simak berita dan artikel lainnya di Google News