Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Mural menurut wikipedia adalah cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen lainnya. Berbeda dengan grafiti yang lebih menekankan hanya pada isi tulisan dan kebanyakan dibuat dengan cat semprot, maka mural tidak demikian, mural lebih bebas dan dapat menggunakan media cat tembok atau cat kayu bahkan cat atau pewarna apa pun juga seperti kapur tulis atau alat lain yang dapat menghasilkan gambar.
Menarik untuk ditelisik maraknya mural akhir-akhir ini. Adakah sesuatu di balik viralnya mural akhir-akhir ini? Apabila dikaitkan dengan sistem demokrasi kekikian, mural bisa saja disebut menjadi bagian dari pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, pers, dan media sosial.
Pilar media sosial, kini diakui atau tidak, merupakan pilar yang cukup efektif untuk menyampaikan kritik-kritik sosial setelah keempat pilar yang disebut sebelumnya tidak jelas peran sertanya akibat terlalu dominannya peran pilar eksekutif.
Kini, pilar media sosial pun sudah mulai dilemahkan melalui tangan-tangan kekuasaan dengan dibuatnya UU ITE yang sudah banyak menelan korban. Sehingga pada gilirannya penyaluran aspirasi tersumbat.
Tak pelak lagi, akibat tersumbatnya saluran aspirasi, kini ungkapan aspirasi dalam bentuk kritik sosial disampaikan lewat media mural. Sungguh fenomenal dan unik penyampaian aspirasi atau kritik sosial lewat mural ini. Perpaduan karya seni dan narasi-narasi yang singkat dan padat yang tertuang pada media mural, tak terlalu ruwet dan njlimet dalam memahami pesan-pesan yang tergambar dan tertulis dalam sajian mural.
Layak ditelisik tentunya, viralnya mural kali ini apakah dapat dikatakan sebagai “potret” lemahnya lembaga perwakilan rakyat? Aspirasi rakyat yang diwakilinya dengan lembaga yang konon mengklaim menjadi lembaga yang mewakilinya, diakui atau tidak, dalam tataran kekinian sangat dirasakan sering tidak nyambung.
Viralnya mural kali ini pun sudah mulai dicoba dihambat lagi dengan berbagai alasan, agar pelaku dapat dijerat hukum. Padahal, bentuk-bentuk mural ini sudah lama muncul seperti gambar-gambar dan tulisan yang dituangkan pada bak-bak belakang truk yang berlalu-lalang di jalur pantura. Atau bahkan juga pernah muncul mural di bak-bak belakang truk, gambar senyuman seorang tokoh nasional dengan narasi tanda tanya yg cukup menggelitik: “Piye Kabare Le, Enak Jamanku to?”
Bentuk dan ragam mural sebetulnya sudah lama bermunculan, tapi rupanya kali ini ada yang belum siap menerima kritikan lewat mural sehingga pada gilirannya muncul polemik soal simbol negara. Layak memang untuk ditelisik fenomena maraknya mural akhir-akhir ini sekaligus menjadi cermin diri bagi para anggota dewan terhormat, sudahkah berfungsi dan berperan sebagai wakil rakyat sebagaimana mestinya?