Di tengah suasana bangsa Indonesia merayakan HUT ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia, muncul usulan menarik dan sangat simpati dari tokoh tionghoa dan aktivis sosial politik, Lieus Sungkharisma. Koordinator Forum Rakyat dan Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) ini mengusulkan kepada pemerintah Indonsia untuk menganugerahi Bintang Mahaputra dan mengangkat Faradj bin Said bin Awadh Martak menjadi pahlawan nasional.
Usul itu, kata Lieus, muncul setelah ia melihat bahwa sampai 76 tahun Indonesia merdeka, pengorbanan Faradj Martak belum mendapat penghargaan yang pantas dari pemerintah Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Faradj Martak adalah lelaki keturunan Arab berasal dari Hadramaut, Yaman, yang menghibahkan rumahnya di jalan Pegangsaan Timur 56 untuk menjadi tempat berkumpul para pejuang kemerdekaan hingga Teks Proklamasi dibacakan oleh dwi tunggal Soekarno-Hatta pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945.
Menurut Lieus, apa yang dilakukan oleh Faradj Martak waktu itu adalah suatu bentuk pengorbanan yang luar biasa. “Lebih dari persahabatannya dengan Soekarno, keikhlasannya menjadikan rumahnya sebagai tempat para pejuang membahas dan merumuskan teks proklamasi adalah suatu perngorbanan yang harus mendapat penghargaan setinggi-tingginya dari negara ini,” katanya.
Lieus menyebut, dalam sejarah perjuangan mememerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, sesungguhnya ada banyak Habaib dan warga keturunan Arab yang terlibat. Baik secara fisik maupun secara finansial.
“Namun entah mengapa, sampai bertahun-tahun kemudian, kecuali nama sejumlah pengarang lagu mars perjuangan seperti H. Mutahar, nama para pejuang keturunan Arab nyaris sedikit sekali disebut-sebut dalam buku sejarah. Nama Faradj Martak sendiri baru mulai ramai dibicarakan setelah ada ribu-ribut terkait “ejeken kadrun” yang dilontarkan oleh sejumlah orang terhadap apapun yang berbau Arab di negeri ini,” katanya.
Karena itu, tambah Lieus, di tengah suasana peringatan HUT kemerdekaan di bulan Agustus ini, ia mengusulkan dan mendorong pemerintah Indonesia untuk menganugerahi bintang Mahaputra serta mengangkat dan memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Faradj bin Said bin Awadh Martak.
“Dalam masa perjuangan kemerdekaan, apa yang dilakukan Faradj Martak itu bukan pengorbanan yang kecil. Apalagi rumah itu bukan hanya untuk tempat mengumandangkan proklamasi, tapi juga tempat tinggal Soekarno di mana teks proklamasi disusun dan dirumuskan serta bendera Merah Putih dijahit dan dikibarkan,” katanya.
Faradj Martak adalah seorang saudagar kelahiran Hadramaut pada tahun 1897 yang hijrah ke Indonesia pada tahun 1940. Di Indonesia keluarga Martak bersama keluarga Badjened merintis berdirinya N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened (Marba) dengan Faradj Martak sebagai Presiden Direkturnya. Selain menghibahkan rumahnya di Peganggsaan Timur 56, Faradj Martak juga menghibahkan sejumlah gedung dan lahan milknya untuk negara. Salah satunya adalah lahan yang kini di atasnya berdiri Masjid Istiqlal.
Sayangnya, tambah Lieus, atas jasa-jasanya tersebut, pemerintah Indonesia sampai hari ini hanya memberi Faradj Martak ucapan terima kasih dan penghargaan yang diketik di atas selembar kertas. “Ucapan terima kasih dan penghargaan itu ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel selaku Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia dan disampaikan secara tertulis atas nama Pemerintah Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1950,” ujar Lieus.
“Saya berharap pemerintah proaktif dalam soal pemberian penghargaan ini. Sebab apa yang dilakukan Faradj Martak dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara ini adalah wujud nyata dari pengorbanan seorang warga negara. Maka, sudah sepatutnya pemerintah Indonsia menganugerahi beliau Bintang Mahaputra dan mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional,” tegas Lieus.