By, Syafril Sjofyan *)
Vaksin Covid, beruntun dan berulang-ulang kesalahan pemerintah. Pemilihan Vaksi Sinovac dengan efikasi 55% kualitas rendah. Konon di negara nya sendiri di China tidak digunakan. Beberapa Negara di dunia menolak dan tidak memakai Sinovac. Termasuk Arab Saudi tidak menerima warga Indonesia yang di vaksin dengan Sinovac.
Tenaga kesehatan atau nakes yang paling duluan di suntik vaksin. Nakes yang sudah divaksin dua kali juga banyak yang meninggal karena terdampar covid-19. Bisa jadi karena efikasi atau kualitasnya rendah. Termasuk masyarakat biasa juga ada yang meninggal karena Covid-19 walaupun sudah di vaksin. Pemerintah lepas tangan terhadap kasus-kasus seperti ini. Harusnya ada evaluasi dan memberikan stimulant buat keluarga yang ditinggalkan. Bukan untuk yang medali emas saja.
Pemerintah sejak awal beli Vaksin Sinovac terlanjur banyak. Borongan. Harga konon lebih mahal dari Astra Zeneca. Kuantiti impornya kurang diperhitungkan. Sebanyak-banyaknya diimport namun tenaga nakes unutk penyuntikan terbatas. Tidak heran ada yang kadaluarsa dan ada juga karena penyimpanan yang tidak baik. Konon Vaksin yang tidak bisa digunakan meruugikan Negara dengan perkiraan senilai 11 Triliun. Ini uang rakyat. Uang banyak sekali.
Kemudian dari pemberitaan, para ilmuan China meneliti Sinovac menyatakan vaksin tersebut hanya tahan selama 6 bulan, untuk itu perlu pakai booster. Berarti 3 kali suntik. Berarti menambah pula kerugian besar dengan pembelian booster vaksin.
Pertanyaan yang timbul kenapa dengan efikasi rendah dengan daya tahan lemah Sinovac buru-buru di borong. Pada hal banyak Negara lain tidak mau dan tidak mengakui jika masuk ke Negara mereka. Pemerintah Indonesia tetap ngotot menggunakan Vaksin Sinovac. Tentu karena sudah terlanjur kontrak bisnis, dengan sistim borongan banyak sekali. Ini jawabannya masalah bisnis, kontrak tidak bisa dibatalkan. Sudah terlanjur harus ditelan. Apapun kondisinya.
Lalu mengenai target 1 juta perhari untuk di vaksin, bahkan target ditambah 2 juta perhari. Apakah sudah tercapai?. Tidak sama sekali. Belum ada pengumuman resmi selama 7 bulan ini untuk capaian target tersebut. Karena kemampuan tenaga kurang dan distribusi vaksinnya juga tidak mendukung. Buktinya yang minta disuntik kedua kali sudah berteriak untuk disuntik. Juga tdk mampu mengejar target suntikan pertama.
Aneh sekarang vaksin dipaksakan. Vaksin di samping bisnis bisa jadi di politisasi. Dijadikan prasyarat untuk memasuki tempat-tempat umum dan pengurusan administrasi publik. Apakah pemerintah mampu untuk melayani vaksin tersebut. Jawaban nya di ragukan sama sekali. Tidak ada perubahan kinerja walaupun sudah berlangsung selama 7 bulan. Tentu dengan pemaksaan akan jadi masalah lanjutan yang lebih besar, bisa karena impor vaksin dengan skedul yang kacau, bisa karena pola distribusi maupun tenaga kesehatannya.
Pemaksaan vaksin apakah betul. Jelas juga tidak. WHO sendiri menyatakan tidak dengan paksaan. Demikian juga Herd Imunnity tidak mensyaratkan harus vaksin 100%. Untuk Indonesia cukup sekitar 190 juta penduduk, artinya 80 juta penduduk tidak perlu di vaksin. Kenapa sekarang jadi wajib. Karena Pemerintah kuatir vaksin kadaluarsa dan penyimpanan tidak baik, takut rugi akan terbuang sia-sia vaksin tersebut.
Itu semua karena tidak terencana secara baik antara supply vaksin dengan kemampuan untuk vaksin. Artinya kesalahan berulang-ulang ada pada Pemerintah. Merugikan Negara namun memaksa rakyat untuk menanggung kerugian tersebut. Kelicikan. Bisa jadi.
Lalu apakah salah ada warga yang menolak vaksin dengan dasar kualitas rendah. Apakah salah bagi yang tidak mau divaksin. Tidak sama sekali. Tidak ada satupun undang-undang yang mewajibkan. Catat tercapainya Herd Immunity hanya perlu 190 juta penduduk yang divaksin, tidak semua penduduk yang harus di vaksin.
Kemudian siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan berulang. Terhadap kerugian Negara, juga kerugian rakyat. Keledai saja tidak mau terperosok pada lubang yang sama. Untuk itu DPR, BPK dan KPK harusnya wajib meng audit tentang kasus-kasus vaksin. Kerugian Negara tentang pemilihan Vaksin kualitas rendah dan perencanaan import/supply yang amburadul asal pesan, harus diminta pertanggung jawabannya. Tentunya kepada Presiden Jokowi. Sementara yang sudah di vaksin Sinovac jangan abai wajib Prokes.
Bandung, 13 Agustus 2021
*) Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B