Terkait Covid-19, Prof Fahmi Amhar: Banyak Ulama Buta Sains & Tolak Vaksin

Tak Berkategori

Banyak ulama yang buta sains terkait Covid-19 sehingga berpendapat tidak sesuai dengan keilmuannya dan menolak vaksin.

“Banyak ulama hari ini buta sains, sehingga ketika bicara sains hasilnya “ambyar”, seperti percaya bumi datar, menyangkal bahwa covid-19 adalah pandemi atau menentang vaksinasi,” kata Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar dalam artikel berjudul “Berpikir Multidimensi”.

Kata Fahmi, gagalnya aneka cara mengatasi pandemi, sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, adalah ketika mayoritas orang berpikir dangkal.

“Berpikir dangkal adalah sekedar memindahkan realitas ke otak, tanpa berusaha mengindera hal-hal terkait, lalu menghubungkannya dengan info lampau yang relevan,” jelasnya.

Ia mengatakan, sebagian agamawan berpikir dangkal ketika malas menghubungkan agama sebagai keahlian mereka dengan sains & politik.

Sebagian ilmuwan berpikir dangkal ketika malas berpikir religius & politis. Mereka bahkan memandang, agama hanya membawa kejumudan, bukan kemajuan sains.

“Sementara itu, ilmuwan juga jarang yang tertarik politik, kecuali hanya sekedar ngerumpi di warung kopi. Bagi mereka yang penting bisa tetap berkarya, tidak peduli apakah di bawah pemerintah kolonial atau nasional, di bawah Orde Nasakom, Orde Baru atau Orde Reformasi,” jelasnya.

Ia mengatakan, kaum agamawan yang berpikir multidimensi tak menjadi angkuh. Sekalipun dia tetap kritis pada pemerintah, tapi tetap mentaati protokol kesehatan karena berdasarkan sains. Keyakinannya pada taqdir tidak menjadikan dirinya egois, karena menjaga jiwa manusia adalah bagian dari maqashid syari’ah juga.

Kaum ilmuwan yang berpikir multidimensi tak menjadi atheis baru yang “menyembah” sains. Dia menyadari bahwa agama bisa menginspirasi teknologi, mengarahkan agar selalu manusiawi, dan tahu diri keterbatasannya.

Ia mengatakan,kaum negarawan yang berpikir multidimensi akan semakin bijak, tidak memandang agama dan sains hanya pelengkap saja, namun justru pilar utama tegaknya suatu peradaban, negara yang maju, berdaulat dan berkah.

“Bila berpikir mendalam ini dapat membawa kita merasakan kehadiran Tuhan dan benarnya janji akherat, di segala fenomena yang kita hadapi, bahkan di tiap hembusan angin atau cahaya lembut matahari, maka kita telah berpikir tercerahkan (mustanir),” pungkasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News