Masih membekas di ingatan kita bersama bahwa para pejabat negeri ini pernah menggagap remeh Virus sarscov-2. Beberapa menteri dulu mengatakan bahwa covid yang kala itu sedang mengguncang China tidak akan sampai ke Indonesia, para pejabat tinggi negara lainnya juga menganggap remeh.
Tak ada yang siap atau berpikir pada konsekuensi terburuk. Sampai kepada akhir bulan Februari seorang warga Depok terjangkit virus covid-19, hanya dalam tempo waktu dua minggu, virus yang diremehkan oleh para pejabat tinggi negara ini berhasil menjangkiti puluhan hingga ratusan orang.
Akhir bulan Maret 2020, pemerintah menghadapi gejolak akibat reaksi masyarakat terhadap pemberitaan yang simpang siur di media massa. Lockdown diteriakkan oleh para warga net di media sosial, dengan berbagai pertimbangan pemerintah memutuskan untuk menerapkan PSBB.
Akhir bulan Maret 2019 juga sekolah dan juga berbagai perguruan tinggi menerapkan pembelajaran online atas instruksi dari Mendikbud, dan masih berlangsung hingga opini ini ditulis. Berbagai persoalan dibidang Pendidikan mulai dari sistem pembelajaran yang tidak efektif, dan terganggunya
Kesehatan mental para siswa maupun mahasiswa turut mewarnai kegiatan pembelajaran daring.
Di bidang Kesehatan, hari-hari berlalu dengan pertambahan jumlah kasus positif serta korban meninggal yang terus melonjak tak kenal henti bagai air sungai yang terus mengalir dari titik yang tinggi menuju titik terendah. Melihat situasi di masyarakat yang semakin parah, pemerintah menginstruksikan untuk memperketat pelaksanaan PSBB sampai kemudian para pemangku kepentingan di negeri ini
memandang bahwa kasus covid sudah cukup terkendali.
New normal Live dikumandangkan. Ada pelonggaran untuk mobilitas masyarakat dengan catatan penerapan protokol Kesehatan di area publik. Namun realitas di lapangan pelonggaran PSBB membuat masyarakat menjadi lepas kendali seakan New normal berarti covid sudah tidak ada lagi.
Alhasil kasus covid melonjak Kembali, kota-kota megapolitan di pulau Jawa mengalami lonjakan kasus yang besar. Pemerintah mulai panik, berbagai kebijakan demi penanggulangan dikeluarkan. Namun tidak ada yang berbuah signifikan, kasus Covid-19 tetap melonjak tinggi tak peduli apa pun
kebijakan pemerintah.
Begitu juga masyarakatnya meski pemerintah sudah berkali-kali menghimbau untuk tidak berkerumun dan tetap di rumah saja jika tak ada keperluan mendesak, warga +62 tetap dengan ciri khasnya yaitu keras kepala, mungkin karena sudah bosan dengan kasus covid.
Kebijakan pemerintah yang awalnya bernama PSBB kemudian berganti nama menjadi PPKM Mikro yang berlangsung selama 2 minggu lebih, sedangkan di pulau Jawa dan Bali mengenakan nama PPKM Darurat. Kemudian kembali berganti nama menjadi PPKM Level 4.
Kali ini pergantian nama penanganan kasus covid-19 diikuti juga dengan pergantian pola penanganan oleh pemerintah. Kini pemerintah tidak segan- segan lagi menindak pelaku yang songong dan melanggar aturan PPKM Level 4. Dari berbagai sektor usaha dari level menegah sampai pada usaha kaki 5 di gebuk jika tak taat aturan.
Ibu hamil Sulawesi contohnya, yang viral setelah menerima tamparan dari satpol pp yang bertindak sok tegas, dengan dalih ‘hanya menjalankan tugas’ sosok oknum berseragam ini dengan teganya memukul seorang wanita yang sedang hamil. Ya walau kemudian terdapat pemberitaan bahwa
wanita tersebut sebenarnya tidak sedang hamil, tetap perlu dipertanyakan apakah oknum tersebut hanya bisa bermain represif dalam menjalankan tugas? Atau adakah instruksi dari atas untuk berbuat demikian?
Kemudian di ibukota Jakarta, tak sedikit warung yang disirami oleh mobil damkar padahal tidak ada terjadi kebakaran di lokasi tersebut. Pemerintah mengargumentasikan bahwa untuk bisa melewat masa-masa covid 19, dibutuhkan kedisiplinan dan Kerja sama antar seluruh elemen masyarakat.
Namun apakah tindakan represif di lapangan yang dilakukan oleh petugas adalah hal yang tepat, menjadi pertanyaan.
Pemulihan ekonomi nasional menjadi kampanye pemerintah sejak penerapan PPKM namun berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh oknum aparat di lapangan dengan dalih penertiban PPKM rasanya justru memperlambat pemulihan ekonomi. Bagaimana bisa ekonomi tumbuh jika para
pelaku usaha dipaksa tutup, yang melawan direpresi, dan disirami air mobil damkar?
Sejauh pengetahuan terbatas yang ada di kepala penulis, bahasa pemulihan ekonomi nasional merupakan suatu penekanan terhadap peran penting pemerintah dalam mendukung perkembangan dari usaha-usaha masyarakat. Jika tafsiran ini benar maka langkah yang perlu diambil pemerintah
adalah mendukung dan menjamin keberlangsungan pasar demi perputaran ekonomi. Masalah lonjakan kasus yang konsisten bertambah per harinya, menjadi tugas para peneliti untuk melakukan riset mendalam sehingga para pemangku kebijakan dapat mengambil kebijakan yang tepat.
Semenjak kebijakan PSBB diterapkan pemerintah sudah menginisiasi kebijakan recofusing anggaran untuk penanganan covid. Hari ini kita masih menjumpai pemberitaan di media yang mengatakan lonjakan korban positif mengakibatkan persediaan oksigen habis, dan tempat tidur di rumah sakit menjadi penuh sehingga para tenaga medis menjadi kewalahan.
Pemerintah seharusnya bisa mengantisipasi masalah ini dengan menarik seluruh anggaran yang sedang difokuskan kepada proyek skala nasional seperti infrastruktur dan program-program dengan dana besar yang masih terus berlanjut.
Toh juga tak ada gunanya jika covid 19 tak kunjung berkesudahan, perlu upaya maksimal untuk penanganan covid di negara dengan penduduk kurang lebih 270 juta jiwa ini. Jika hanya melakukan penanganan setengah hati tentu tak akan menyelesaikan persoalan. Kemungkinan terburuk covid bisa tetap berlanjut sampai tahun 2024.
Jika hari ini solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah memberlakukan kebijakan yang membatasi ruang gerak masyarakat, kemudian memberikan bantuan sosial untuk menopang hidup dalam tempo waktu tertentu, rasanya tak akan menyelesaikan akar persoalan.
Angka positif akan terus bertambah, mungkin korban meninggal mengalami penurunan. Namun yang menjadi persoalan sekaligus tantangan bagi para pemangku kepentingan hari ini adalah sejauh mana kemampuan berinovasi serta melakukan terobosan agar Indonesia bisa segera keluar dari
persoalan pelik virus covid 19.
Hari ini Covid 19 sudah kehilangan sisi menakutkan di tengah masyarakat kebanyakan. Pada akhirnya berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik itu PSBB Level maksimal atau apa pun itu, tingkat kepatuhan masyarakat akan tetap rendah. Kerumunan di pusat keramaian serta tingkat kepatuhan yang rendah terhadap penerapan prokes dan jumlah BOR yang sudah melewati daya tampung di berbagai rumah sakit besar merupakan bukti bahwa covid 19 tidak ditakuti lagi oleh masyarakat Indonesia.
Kondisi saat ini memaksa masyarakat untuk patuh, ada sisi kebebasan yang terkekang, tenaga medis yang sudah teramat lelah, pelajar dan mahasiswa yang sudah jenuh dengan sengkarut pembelajaran daring. Kapan ini semua akan berakhir? Tak ada jawaban pasti, namun jika tak ada terobosan baru dalam penanganan pandemi bisa diprediksi bahwa semua persoalan akibat pandemi hari ini akan
tetap berlanjut ke bulan hingga tahun-tahun berikutnya.
Perlu riset mendalam terhadap pandemi ini sehingga vaksin atau obat mujarab bisa segera ditemukan, serta kesepakatan dan kemauan dari para pemangku kebijakan untuk bekerja lebih keras lagi dalam melakukan terobosan serta inovasi dalam menemukan solusi yang tepat dari virus yang
merepotkan ini. Terakhir komunikasi publik para pemangku kepentingan merupakan hal krusial yang harus segera dibenahi agar pesan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
[Juan/Kontributor]