Rezim Joko Widodo (Jokowi) dikuasai kebodohan dengan lebih mengutamakan pendekatan politik dan ekonomi dalam mengatasi Covid-19.
“Penanganan pandemi Covid-19 sejak mula ditetapkan sebagai bencana non alam pada Maret 2020 hingga saat ini, yang menjadi panglima bukan sains melainkan politik dengan ekonomi menjadi motif dan pertimbangan utamanya, bukan kesehatan,” kata Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin dalam artikel berjudul “Otoritas Kekuasaan yang tak Mau Terikat dengan Sains”.
“Sampai kapan negeri ini dikuasai dan dipimpin kebodohan ? sampai kapan otoritas ilmu tunduk pada kekuasaan bodoh ? bukankah, semestinya sains menjadi komandan dalam menanggulangi pandemi ? kenapa sains justru disekap, berada dibawah ketiak kekuasaan bodoh ?” tanya Khozinudin.
Khozinudin mengatakan, Rezim Jokowi mengabaikan otoritas sains, bahkan sejak awal pandemi banyak yang meminta segera diterapkan lockdown (Karantina Wilayah), sebagai tindakan preventif dan antisipatif untuk mencegah transmisi penyebaran virus.
Otoritas kekuasaan malah menertawakan Sains, meledek ilmu, dengan menyebut Corona tidak akan masuk Indonesia karena birokrasi berbelit-belit, Corona sembuh dengan makan nasi kucing, Corona tidak cocok dengan suhu di Indonesia, dll.
“Akibatnya, virus ini benar-benar menjadi wabah yang ditransmisikan secara luas ke seluruh penjuru tanah air karena gerbang pintu kedatangan virus justru dibuka lebar dengan alasan mengundang turis mancanegara untuk meningkatkan kunjungan pariwisata,” paparnya.
Selain itu, Khozinudin mengatakan, tidak ada bukti saintis yang memberikan argumentasi vaksin dapat mencegah infeksi virus pada saat virus masih bermutasi ke berbagai varian. Otoritas kekuasaan hanya bicara ‘pokoknya vaksinasi’ meskipun pasca vaksinasi sebelumnya, jumlah infeksi virus justru meningkat.
“Korporasi industri farmasi khususnya yang bergerak di dunia vaksin, begitu semangat menyambut instruksi ‘pokoknya’ dari presiden ini, karena dibalik vaksinasi ada duit. Hanya duit itulah, yang menjadi motif sekaligus tujuan industri farmasi dalam situasi pandemi,” jelasnya.
Dengan logika pokoknya, pemerintah juga akan memberlakukan PPKM darurat. Yang penting jangan keluar rumah, mau lapar juga terserah, yang penting tidak menularkan atau tertular virus.
Istilah hukum Karantina Wilayah tidak mau digunakan, memilih PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang tidak ada dasar hukumnya. Yang jelas, dengan PPKM pemerintah tidak perlu repot-repot menanggung biaya kebutuhan dasar orang dan hewan ternak, sehingga bisa lepas dari tanggung jawab kepada rakyatnya.
“Kalau menerapkan lockdown (Karantina Wilayah), pemerintah akan terbebani untuk memberikan makan rakyatnya, sebagaimana amanat UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. PPKM adalah protokol pandemi, yakni cuci tangan dari kewajiban dan tanggungjawab pemerintah untuk memberikan makan rakyatnya,” pungkasnya.