Vonis Habib Rizieq Shihab (HRS) empat tahun penjara oleh Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Timur Khadmanto dalam kasus RS Ummi Kota Bogor demi kepentingan politik dan kekuasaan
“Publik yang mengiringi keyakinan bahwa vonis HRS ini sarat dengan kepentingan politik dan kekuasaan,” kata Pemerhati Politik dan Kebangsaan M Rizal Fadillah dalam pernyataan kepada www.suaranasional.com, Sabtu (26/6/2021).
Selain itu, Rizal mengatakan, dua figur yang banyak mendapat sorotan pasca vonis HRS di PN Jakarta Timur adalah Bima Arya Walikota Bogor dan Khadwanto Ketua Majelis Hakim. Bima Arya adalah Pelapor kepada pihak Kepolisian atas perbuatan HRS dan Direktur RS Ummi.
Laporan Bima Arya dianggap penyebab dari Putusan Hakim yang dinilai berlebihan dan tidak adil tersebut. Karenanya publik langsung menyorot dan memelototi Walikota Bogor kader PAN tersebut. Kecaman, caci maki, bahkan do’a kutukan pun terbaca di media sosial. Foto Bima Arya dipampang netizen. Miris dan agak mengerikan jika membaca do’a kutukan netizen yang kecewa dan merasa jengkel kepadanya.
“Figur kedua tentu Khadwanto SH Hakim Ketua. Di samping kontroversial dengan menghukum berat untuk sebuah kasus ringan, juga penawaran pengampunan Presiden kepada HRS menjadi hal unik dan aneh. Memperkuat dugaan adanya intervensi kekuasaan. Secara teori Majelis Hakim itu independen namun prakteknya banyak dicemari oleh berbagai godaan, baik uang maupun tekanan politik,” ungkapnya.
Kata Rizal, Bima Arya saat menjadi saksi dalam sidang HRS memposting bahwa yang dilakukannya adalah untuk melindungi warga dan menuduh RS UMMI tidak kooperatif. Netizen membalas dengan mengingatkan Bima bahwa ia akan disidang yang jauh lebih berat di akhirat. ada pula yang mengomentari “Inget, darah ulama itu beracun, apalagi ini ada darah Rosulullah, jangan zalim”.
“Tentu menjadi hak Bima dan Khadwanto untuk bersikap, risiko adalah konsekuensi dari sikap yang diambil. Persoalan yang muncul adalah bahwa kasus HRS merupakan kasus politik sehingga orang bertanya apakah sikap Bima dan Khadwanto itu menang mandiri atau ada saran, perintah, tekanan dari atasan atau penentu kebijakan politik ? Tentu sulit untuk menjawab karena ruangannya remang-remang bahkan gelap,” ungkapnya.