by M Rizal Fadillah
Garuda memiliki hutang besar hingga 70 Trilyun. Bisa bangkrut jika tidak ada operasi penyelamatan. Adalah ekonom senior dan mantan Menteri Rizal Ramli yang menilai Garuda mesti diselamatkan. Ia siap dan yakin mampu menyelematkan Garuda. Menurutnya harus ada langkah inovatif “out of the box” bukan “business as ussual”. Rizal Ramli memang pernah menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan pada tahun 2020.
Muncul usul menarik atas kesiapan untuk menyelamatkan tersebut yaitu barter dengan Presidential Threshold nol persen yang kemudian disambut positif sebagai ide cemerlang. Rizal menyetujui dan gagasan rasional itu bisa dilakukan. Menarik bahwa penyelamatan bisnis atau ekonomi dibarter dengan tuntutan politik. Meski tidak mudah disepakati oleh Pemerintah dan Parlemen akan tetapi gagasan bagus ini adalah terobosan budaya.
Sekurangnya ada empat nilai konstruktif yang melekat dari terobosan budaya tersebut, yaitu :
Pertama, tampilan karakter berbasis kepercayaan diri. Kepercayaan yang didasarkan pada kemampuan dan pengalaman. Bukan asal percaya diri seperti pemain band yang dipaksakan menjadi Komisaris. Kemampuan dan pengalaman di atas dimiliki oleh seorang Rizal Ramli. Kesulitan Garuda bukan hal atau kasus baru.
Kedua, barter bagai gurauan tetapi sesungguhnya membangun budaya edukatif, aspiratif, dan obyektif. Kepentingan rakyat didahulukan. Presidential Threshold nol persen adalah aspirasi rakyat untuk mendapatkan figur terbaik dari banyak pilihan. Sangat rasional dan obyektif jika melihat buruknya ambang batas tinggi pengajuan calon Presiden selama ini. Minim kompetitor namun maksimal permainan kotor.
Ketiga, dengan tuntutan barter berarti siap menanggung risiko, jika gagal menyelamatkan Garuda maka bukan saja treshold tidak menjadi nol persen, tetapi juga reputasi Rizal Ramli akan ambruk. Pertaruhan tinggi seperti ini adalah budaya baru dalam penyelenggaraan negara. Seharusnya mendapat dukungan dan apresiasi.
Keempat, jika sukses dalam misi penyelamatan, maka memberi kesempatan pada orang yang berprestasi untuk ikut berkompetisi adalah wujud dari budaya politik luhur. Pilihan publik terhadap figur bukan berdasarkan rekayasa survey atau popularitas artifisial. “Primus inter pares” bisa didapat. Presiden ke depan adalah yang nyata-nyata berprestasi, bereputasi, dan memang terbaik.
Tak perlu menertawakan suatu gagasan bagus. Bahwa realisasinya tidak mudah, itu persoalan lain. Biarlah menggelinding. Toh perubahan besar sering terjadi diawali dengan gagasan yang membuat masyarakat tertawa, bingung, dan aneh. Konsistensi dan integritas tinggi akan membawa pada hasil gemilang berupa pengakuan tulus dan penghargaan.
Mampukah Rizal Ramli menyandang predikat sebagai “Mr O %” dan menjadi Presiden ? Sejarah terus memantau dan berteriak keras : Semua serba mungkin !
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 5 Juni 2021