Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
[Koordinator Advokat Perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst]
Dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu alasan pemberhentian jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia adalah karena Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia melakukan perbuatan tercela. Tidak ada penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan ‘perbuatan tercela’, mengingat konstitusi memuat ketentuan norma dasar yang bersifat general.
Namun, melalui doktrin hukum kemudian dapat diketahui bahwa yang dimaksud perbuatan tercela adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain perbuatan melawan hukum (PMH). Perbuatan melawan hukum secara materiil bukan hanya bertentangan dengan hukum positif, tetapi juga bertentangan dengan norma agama, norma susila, norma adat dan norma kesopanan.
Doktrin hukum yang lain, menyederhanakan makna perbuatan melawan hukum ditafsirkan sebagai perbuatan yang dapat merendahkan wibawa Presiden. Penjelasan ini, juga sejalan dengan maksud dari perbuatan melawan hukum karena Presiden akan jatuh wibawanya saat melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum seperti berdusta, ingkar dan khianat.
Secara khusus, agama (Islam) mencela sifat munafik. Sifat Munafik adalah sifat yang melekat pada orang yang tidak sejalan dengan kata dan perbuatan.
Secara lebih detail, as Sunnah telah merinci sifat atau tanda-tanda kemunafikan itu adalah bohong, ingkar dan khianat. Hal ini sebagaimana dikabarkan dalam Sabda Rasulullah Saw, yakni :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.”
(HR Bukhari)
Dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan terhadap Ir Joko Widodo dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia, salah satu materi muatan gugatan adalah adanya perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden sehubungan dengan adanya janji-janji politik Presiden baik saat kampanye maupun dalam kapasitasnya sebagai Presiden, yang tidak dipenuhi. Jadi, fokus gugatan adalah meminta putusan tentang adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Presiden, bukan menetapkan Presiden memiliki sifat atau tanda-tanda orang munafik.
Di ingkari janji politik, bisa juga ditafsirkan mengedarkan kebohongan yang menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat. Hanya saja karena itu masuk ranah politik, maka tanggung jawab yang diberikan adalah secara politik melalui proses pengunduran diri Presiden atau jika tidak melakukan itu dilakukan proses pemberhentian Ir Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia.
Jadi, dalam hal ini meskipun kebohongan itu bisa dituntut berdasarkan ketentuan pasal 14 dan 15 UU No 1 tahun 1946, namun fokus gugatan adalah meminta pertanggungjawaban politik yang diawali dengan pernyataan pengadilan yang menyatakan Saudara Ir Joko Widodo telah melakukan perbuatan melawan hukum, dan bukannya meminta pertanggungjawaban hukum secara pidana.
Adapun apa saja janji politik yang diingkari Presiden atau apa saja kebohongan yang dilakukan Presiden yang menjadi objek atau materi Gugatan ? Diantaranya adalah apa yang beredar ditengah masyarakat mengenai 66 janji Ir Joko Widodo yang tidak ditepati. Dalam gugatan, diantara materi yang dirinci adalah soal janji tidak akan utang, soal janji tidak akan import, dan soal akan buy back Indosat.
Selain itu, dalam gugatan juga diuraikan adanya disfungsi jabatan Presiden yang tak mampu merealisasikan tujuan pemerintahan berupa mewujudkan kesejahteraan, keadilan, keamanan, pendidikan dan kesehatan. Ekonomi dibawah Presiden Joko Widodo amburadul, hukum dibawah Presiden Joko Widodo tidak berkeadilan, keamanan mahal hingga terjadi pembantaian 6 anggota FPI, dan seterusnya.
Dua objek materi gugatan perbuatan melawan hukum berupa disfungsi Presiden dan Perbuatan Tercela, adalah alasan utama penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara agar menyatakan Ir. Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia telah melakukannya perbuatan melawan hukum.
Apa tuntutan yang diajukan kepada Presiden ?
Pertama, secara subjektif penggugat menghimbau agar Presiden berkenan menyatakan pengunduran dirinya dihadapan publik. Cara pertama ini lebih simpel dan bermartabat.
Dengan demikian, tidak dibutuhkan proses lebih lanjut baik secara politik di DPR RI dan secara hukum di Mahkamah Konstitusi. MPR RI tinggal menindaklanjuti pengunduran diri Presiden dengan mengadakan sidang istimewa.
Kedua, secara objektif putusan pengadilan yang menyatakan Presiden Joko Widodo telah melakukan perbuatan melawan hukum menjadi dasar untuk mendorong DPR RI menggunakan haknya hingga Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Hak inilah, yang menjadi titik tolak proses pemberhentian Presiden dimulai dari DPR RI, dibawa ke Mahkamah konstitusi dan berakhir dengan sidang istimewa MPR RI.
Demikianlah, alur gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan terhadap Presiden Joko Widodo. Menggugat ke pengadilan adalah cara yang legal dan konstitusional. Mengenai apakah perkara ini akan berakhir dengan putusan yang menyatakan Presiden telah melakukan pembuatan melawan hukum ? Kami serahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. [].