Indonesia yang menolak Resolusi Perlindungan HAM PBB menunjukkan politik luar negeri Indonesia di bawah Rezim Joko Widodo (Jokowi) tidak antipenjajahan.
“Pilihan opsi diplomasi yang diambil pemerintah Indonesia dalam forum PBB tersebut, selain sangat mengecewakan juga bertentangan dengan konstitusi,” kata Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana kepada www.suaranasional.com, Sabtu (22/5/2021).
Kata Eggi, sikap Politik luar negeri yang bertentangan dengan konstitusi juga dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. “Kondisi ini semakin menguatkan materi muatan gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan TPUA kepada Saudara Ir Joko Widodo dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia,” ungkapnya.
Dalam perkara No. 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst, TPUA menggugat Presiden Joko Widodo sehubungan dengan telah terjadinya perbuatan melawan hukum dalam bentuk disfungsi Presiden dan perbuatan tercela.
“Semoga, Majelis Hakim dapat memahami realitas pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sehingga dapat mengabulkan gugatan yang diajukan sejumlah Rakyat yang diwakili oleh TPUA,” ungkap Eggi.
Selain itu, ia mengatakan, penjajahan bangsa Israel terhadap Palestina, jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. “Opsi pasif dengan memilih ‘NO’ dalam forum PBB, menunjukkan Indonesia tidak punya komitmen untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan diatas dunia,” jelasnya.
Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto, mengklarifikasi kabar Indonesia menolak resolusi perlindungan HAM PBB alias Responsibility to Protect (R2P) di tengah situasi Palestina – Israel yang pelik.
Disampaikan via press briefing, Febrian menyampaikan bahwa Indonesia memang menolak resolusi PBB, namun apa yang mereka tolak bukanlah substansi dari R2P itu sendiri. Ia berkata, apa yang ditolak Indonesia adalah pembahasan R2P dalam ruang atau event terpisah.
Febrian berkata, sudah terlalu sering pembahasan R2P dilakukan dalam kegiatan terpisah atau bahkan agenda tambahan. Hal itu, kata ia, sudah terjadi sejak konsep dasar R2P dibahas pada World Summit 2005. Oleh karenanya, menurut Febrian, sudah tidak perlu lagi ada resolusi untuk memisahkan agenda pembahasan R2P.
“Kesalahpahaman ini sepertinya timbul karena informasi yang tidak cukup banyak soal isu resolusi. Jadi, saya tegaskan, apa yang ditolak Indonesia bukan isu substantifnya, tetapi proseduralnya…Kami sudah mendukung R2P sejak 2005 hingga 2020. Perlindungan terhadap korban kejahatan kemanusiaan, genosida, itu sudah jelas,” ujar Febrian, Kamis (20/5/2021).