Ahli Geologi Sebut Ibu Kota Baru Berbahaya

Tak Berkategori

Ibukota Negara yang baru dibangun di Kalimantan Timur menurut tinjauan geologi rawan longsor dan kesulitan air. Sebab daerah Sepaku dan sekitarnya banyak patahan lempengan tanah dan endapan lempung.

Hal itu disampaikan ahli geologi Dr Andang Bachtiar dalam webinar yang diadakan mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda, Kamis (29/4/2021). Webinar membahas topik Aspek Geologi Calon Ibukota Negara di Penajam Paser Utara.

Menurut Andang Bachtiar, di daerah Sepaku dan wilayah sekitar Penajam Paser Utara sebagai kawasan inti pusat pemerintahan dipotong-potong oleh patahan-patahan lempeng tanah yang naik berarah Timur Laut-Barat Daya yang terbentuk di awal pengendapannya sebagai patahan anjak-kaki (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam.

”Patahan ini mengalami reaktivasi Plio-Pleistocene 5 juta tahun yang lalu, di mana mula terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang. Patahan-patahan ini adalah lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukungnya terhadap fondasi apabila hendak membangun bangunan apalagi bertingkat,” jelas Andang Bachtiar.

Patahan ini terus bergerak, tambah dia, sehingga di daerah itu sering terjadi jalan tiba-tiba longsor. Lereng Mahakam, daerah offshore, banyak longsoran ketika kena hujan. Andang sejak tahun 1990-2000 berpengalaman meneliti daerah Cekungan Kutai, Kalimantan Timur untuk pengeboran minyak.

Menurut perencanaan pemerintah, Ibukota Negara terdiri kawasan inti pemerintahan di wilayah Kec. Sepaku Kab. Penajam Paser Utara seluas 5,644 Hektare. Kawasan ibukota seluas 42,000 Hektare. Rencana daerah perluasan ibukota sebesar 180,965 Hektare.

Sulit Air

Satu lagi dia mengingatkan, wilayah ini minim sumber air. ”Siapapun bisa bertanya ke mereka yang pernah berkegiatan di area Sepaku dan sekitarnya, betapa susahnya mendapatkan air tanah di daerah ini,” kata Andang yang sekarang menjabat Direktur Eksplorasi Maurel et Prom, Prancis.

Minim sumber air, dia menjelaskan, karena kondisi hidrogeologi permukaan daerah tersebut disusun oleh batuan sedimen lempung endapan laut berumur dari 23-33 juta tahun.

”Di dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak. Itupun sangat minim. Air tanah kemungkinan didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu-gamping yang berongga,” ujar Andang Bachtiar yang lulusan ITB dan Colorado School of Mines.

Menurut dia, sangat ironis Ibukota Negara kesulitan air. Diatasi dengan cara membangun tampungan air namun airnya darimana. Sebab di daerah ini kondisi sungai pasang surut.

Dia menjelaskan, kawasan inti ibukota di daerah Sepaku, jelas-jelas tidak punya daya dukung mencukupi untuk air tanah. Begitu juga di kawasan penyangganya seperti Kutai dan Balikpapan. Saat ini daya dukung air tanah regionalnya tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

”PDAM harus bikin bendungan-bendungan dan embung yang kondisi recharge airnya juga tergantung musim. Kalau kemarau seringkali tidak mencukupi,” ujarnya.
Banjir Rob

Dia juga meragukan pernyataan Ibukota Negara baru ini bebas banjir. ”Daerah Sepaku juga terkena banjir rob dari Teluk Balikpapan. Jadi ibukota ini ya banjir lagi seperti Jakarta. Semua ini bisa diantisipasi tapi perlu biaya besar,” tandasnya.

Gambar arsitek ibukota yang beredar di medsos berupa limpahan air di danau, sungai mengalir, dan hutan yang asri itu secara alamiahnya tidak ada di lokasi sekarang ini. Sungainya yang besar-besar pada umumnya sungai pasang surut, bukan sungai permanen.

Beberapa sungai kecil di bagian barat kawasan inti pusat pemerintahan mungkin masih berupa sungai remaja yang masih tawar airnya, tetapi apakah cukup dibendung untuk kebutuhan 1,5 – 2 juta jiwa penduduk ibukota nanti.
Kebakaran Hutan

Di kawasan perluasan ibukota di sepanjang area Bukit Suharto banyak lapisan batubara dangkal yang mudah sekali terbakar. Hal ini jadi faktor penghambat yang harus diatasi dengan rekayasa geoteknik tertentu yang kalau tidak serius perencanaan dan implementasinya bisa bikin runyam kondisi kebencanaannya.

”Meskipun lokasinya di kawasan perluasan, tetapi efek kebakarannya sudah pasti akan memengaruhi gerak langkah kehidupan sehari-hari di kawasan pusat pemerintahan ibukota yang hanya berjarak 10-20 Km dari lokasi terdekat batubara terbakar. Pengurangan risiko dari awal mematikan potensi batubara terbakar ini jadi bagian biaya membangun yang tidak murah,” tandasnya.

Keputusan Politik

Andang Bachtiar mengatakan, sebaiknya pemerintah membuat peta geologi dan seismik dengan skala detail sebelum mendirikan bangunan. Badan Geologi harus segera ditugaskan membuatnya.

Dia ungkapkan kondisi geologi ini bukan hendak menghalangi pemindahan ibukota tapi mengingatkan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki kondisi tanah di bawah permukaan. Membangun ibukota negara itu keputusan politik namun jangan mengabaikan kondisi geologinya. Jangan hanya menarget lima tahun harus jadi.

”Jangan grusa-grusu, hati-hati, kalau nanti terjadi istana dan jalan-jalan ibukota tiba-tiba longsor kan berbahaya,” tegasnya. ”Saya gak habis pikir membangun ibukota kok tidak melakukan penelitian geologi tapi hanya keputusan politik. Dulu Sepaku tidak masuk jadi ibukota, setelah Pemilu tiba-tiba masuk, lalu semua tergopoh-gopoh.”

Kalau tidak hati-hati, kata dia, nanti ada penyesalan atas membengkaknya biaya operasional kehidupan sehari-hari bernegara di sana karena terus menerus menanggulangi bencana yang diakibatkan kondisi lokal geologi yang tidak diantispasi sebelumnya, karena kurang pahamnya para perencana atas kondisi bawah permukaan tanah. (PWMU)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News