Penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (in casu Densus 88 Antiteror) tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan bahwa penangkapan harus didahului dengan penetapan status tersangka.
Demikian dikatakan Presiden Asosiasi Ahli Hukum Pidana Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H dan Sekjen Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H dalam pernyataan kepada www.suaranasional.com, Rabu (28/4/2021).
Muhammad Taufik mengatakan, penetapan status tersangka juga harus berdasarkan kekuatan 2 (dua) alat bukti minimal dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015.
“Dengan demikian penangkapan tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,” ungkapnya.
Munarman belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan (in casu calon tersangka), maka penangkapan tersebut juga dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada intinya tidak mendapatkan atau tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
“Terjadi penggiringan opini yang sengaja diarahkan kepada Front Pembela Islam dari pihak-pihak tertentu. Penggiringan opini dimaksud adalah mengaitkannya dengan perbuatan terorisme dan menghubungkannya dengan ISIS. Kesemuanya itu terjadi secara massif, berkelanjutan dan sistemik dengan maksud untuk menyingkirkan peranan Islam Politik pada Pilpres tahun 2024 yang akan datang,” paparnya.
Asosiasi Ahli Hukum Pidana menuntut pihak Kepolisian Republik Indonesia untuk segera melakukan tindakan hukum (penyelidikan dan penyidikan) terhadap pihak-pihak yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana), menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana).
“Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik),” pungkasnya.