Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Ah kangen rasanya, ingin segera kembali menikmati ulasan menarik dari goresan tinta Bang Syahganda Nainggolan. Sewaktu belum ditahan, dalam sejumlah isu kekinian pemilik lembaga Sabang Merauke Circle ini aktif menulis dan memberikan sejumlah perspektif dalam ulasan tulisannya. Tentu, dengan karakteristik dan rasa tulisan yang khas.
Saat ini, menulis tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang piawai mengolah kata, tetapi juga yang memiliki nyali. Menulis, sebenarnya adalah ekspresi pendapat, bagian dari hak konstitusional yang melekat pada setiap warga negara.
Sayangnya, di era rezim yang represif ini menulis dikriminalisasi. Aktivitas berpendapat ini sering ditafsirkan sebagai hoax, menyebar fitnah, menyebar kebencian dan permusuhan, SARA, makar, penghasutan, dan sederet nomenklatur aneh lainnya.
Sejumlah pasal-pasal yang pada era sebelumnya tidak pernah dijadikan dasar penindakan, masif diaktivasi di era rezim Jokowi. UU No 1 tahun 1946 adalah UU kuno, yang tidak terdengar kabarnya diterapkan oleh rezim Orba, era Habibie, Megawati hingga SBY. Tapi di era Jokowi, sudah banyak aktivis, ulama dan orang umum menjadi korban pasal ini. Habib Rizieq Shihab dan Syahganda Nainggolan, menjadi korban pasal tidak jelas ini.
Pasal 27 dan 28 UU ITE, adalah pasal yang juga masif digunakan sebagai sarana kriminalisasi. Gus Nur, Ali Baharsyah, Almarhum Ust Maaher at Tuwailibi, adalah contoh korban pasal karet ini. Belum lagi, sejumlah pasal karet lainnya seperti pasal 160 KUHP yang dijadikan dalih untuk mengkriminalisasi aktivitas dakwah dan berpendapat sebagai penghasutan.
Kamis (29/4) Syahganda Nainggolan akan divonis. Sebelumnya, jaksa telah menuntut 6 tahun penjara hanya karena dianggap telah menyebar berita bohong lewat akun Twitter @syahganda. Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 digunakan untuk menjerat Syahganda Nainggolan.
Entahlah, apakah hakim masih memiliki nurani. Di sejumlah kasus, hakim tak lebih menjadi alat legitimasi kezaliman rezim. Semua kasus kriminalisasi, akhirnya diketok palu dan dinyatakan bersalah.
Padahal -sekali lagi- tidak ada unsur pidana bagi warga masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Kalaupun pendapat itu keliru, tetap berkedudukan sebagai pendapat bukan kemudian dianggap mengedarkan berita bohong yang kemudian diklaim menimbulkan keonaran.
Pada kasus demo UU Omnibus Law, sejumlah demo diberbagai daerah itu dipicu oleh kezaliman rezim. Pemerintah dan DPR tak mendengar aspirasi rakyat, maka terjadilah aksi demo rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Semua itu terjadi secara alamiah, bukan karena ciutan Syahganda Nainggolan.
Karena itu, unsur menimbulkan keonaran tidak terpenuhi karena sebabnya bukan karena cuitan Twitter tetapi karena kebijaksanaan zalim rezim. Adapun pendapat, betapapun keliru kedudukannya tetaplah pendapat yang dijamin konstitusi, bukan kemudian berubah menjadi berita bohong.
Semestinya, hakim membebaskan Syahganda Nainggolan, karena unsur pidananya tidak dapat dibuktikan. Atau setidaknya dilepaskan dari segala tuntutan, karena aktivitas yang dilakukan meskipun terbukti bukanlah peristiwa pidana, melainkan aktivitas menjalankan hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat.
Sabar Bang Syahganda, kebenaran selalu akan dibersamai oleh Allah SWT. Kezaliman, selamanya akan dikalahkan dan akan mendapat balasan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Percayalah, ini hanya soal waktu saja. [].