Pakar Hukum: Rekayasa Hukum Prokes Jerat HRS Dkk

Tak Berkategori

Perkara yang ‘menjerat’ IB Habib Rizieq Shihab (HRS) dkk terkait dengan ajakan menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW dan sekaligus pernikahan putrinya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Demikian dikatakan pakar hukum Dr Abdul Chair Ramadhan SH dalam pernyataan kepada www.suaranasional.com, Kamis (8/4/2021). “Berkerumunannya orang dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dalam masa pandemi Covid-19 bukanlah termasuk perbuatan tercela,” ungkapnya.

Kata Abdul Chair, tidak ada sifat tercela dari acara dimaksud dan oleh karena itu tidak ada sama sekali kesalahannya. Terlebih lagi tidak ada Fatwa MUI yang menyebutkan larangan (keharaman) peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di masa pandemi Covid-19. Tidak ada penggunaan pikiran secara salah dalam ajakan menghadiri acara dimaksud.

“Dengan kata lain tidak ada kesengajaan untuk melakukan perbuatan terlarang, sebab acara tersebut bukan perbuatan tercela yang dilarang oleh hukum positif.  Tidak pula ada akibat konkrit dari perbuatan terlarang yang dimaksudkan. Dengan demikian, tidak ada hubungan antara sikap batin (kesalahan) dengan perbuatannya,” ungkapnya.

Mengacu pada doktrin monistis, maka pada perkara IB HRS dkk tidak dijumpai adanya hubungan antara mens rea dengan actus reus dan oleh karenanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

“Patut dicatat, proses hukum tersebut telah bertentangan dengan asas “ne bis in idem”. Postulat, “nemo debet bis vexari” menjadi dalil tidak dapatnya dilakukan proses hukum ketika seseorang telah membayar denda administratif. Terkait dengan hal ini, menimbulkan pertanyaan bukankah IB HRS telah memenuhi kewajiban pembayaran denda sebesar limapuluh juta rupiah. Namun, mengapa tetap dilanjutkan sampai ke muka persidangan? Jawabannya hanya satu kata, yakini “politik”,” jelasnya.

Abdul Chair mengatakan, perkara Prokes yang ‘menjerat’ IB HRS dkk diyakini lebih bermuatan politis ketimbang yuridis. Patut diduga bahwa pemenuhan unsur kesalahan telah direkayasa sedemikian rupa dengan variasi dan kombinasi pasal yang berlapis. Oleh karena itu, menjadi beralasan untuk dikatakan bahwa penggunaan pikiran secara salah justru terjadi dalam proses hukum Prokes tersebut.

“Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, maka Majelis Hakim dituntut untuk menegakkan hukum dengan berpegang teguh pada aksiologi “kepastian hukum yang adil”. Keberlakuan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” harus ditaati.  Asas tersebut tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,” pungkasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News