Dosen UMJ: Kerja Densus 88 Semakin Ugal-Ugalan

Tak Berkategori

Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma’mun Murod Al Barbasy mengkritik kerja Densus 88 dalam menangkap orang-orang yang diduga teroris.

“Kok sepertinya kerja-kerja Densus88 semakin ugal-ugalan saja,” kata Ma’mun di akun Twitter-nya @mamunmurod_.

Ma’mun mengatakan seperti itu menanggapi tulisan akun Facebook Siti Hairul Dayah yang menceritakan suaminya ditangkap Densus 88. Siti Hairul Dayah merupakan alumni Ma’had Ali bin Abi Thalib Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Ma’mun mengatakan, Densus 88 terlihat tidak mendengar aspirasi masyarakat dan umat Islam dalam menangani masalah terorisme. “Masukan-masukan dari berbagai elemen masyarakat dan umat Islam seperti tak pernah didengarkan,” ungkapnya.

Siti Hairul Dayah mengatakan, Densus 88 mengambil buku-buku termasuk buku pelajaran Bahasa Arab dasar yang dipelajari saat di Ma’had Ali bin Abi Thalib UMY.

“Ada satu CD dengan cover bahasa Arab yang diambil petugas saat mereka menggeledah lemari pakaian saya. CD tersebut adalah paketan dari kitab Bayna Yadaik, buku belajar bahasa Arab isinya percakapan sederhana dalam bahasa Arab, tapi ga papa sih sesekali biar mereka tahu kalimat ” Masmuka?, min aina? syukron, dan bahasa Arab itu biasa aja ga seperti yang mereka bayangkan kalau orang ngomong bahasa Arab berarti ngajak berantem,” ungkapnya.

Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai cara-cara yang belakangan digunakan Densus 88 mirip dengan penindakan ketika Orde Baru.

“Ya seperti mengopi saja, tak ada beda dengan zaman penumpasan Komando Jihad. Semuanya serbamasif, terstruktur, dan sistematis,” kata Busyro, Selasa (15/3/2016).

Busyro sepanjang 1980-an kerap menangani dan membela para terduga anggota Komando Jihad yang ditangkap secara serampangan oleh aparat Orde Baru.

Tak beda dengan masa sekarang, kata Busyro, pada masa itu juga banyak terjadi kejanggalan ketika aparat intelijen melakukan operasi penumpasan Komando jihad. Siapa pun mereka tangkap, tak peduli apa latar belakang asal usul sosial, tingkat pendidikan, dan ekonomi dari para pelakunya. Semua disikat habis.

Ia menegaskan, perlu ada evaluasi soal penanganan terorisme belakangan. “Sudah sampai ganti enam kapolri, kekuatan mereka (teroris) tetap belum juga tuntas. Ada apa kok pengikut mereka tak habis-habis? Jadi, itulah pertanyaannya sekarang,” kata Busyro.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News