Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Penulis setuju dan sependapat dengan apa yang disampaikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Ketua Umum Partai Demokrat yang menyebut Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat Di Deli Serdang Sumatera Utara sebagai KLB Ilegal dan inkonstitusional. Atau dalam bahasa umum tepat disebut sebagai ‘KLB abal-abal’.
Karena itu, status Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang didapuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Versi KLB (PD-KLB) layak disebut dengan ‘Ketum Perampok’. Saya tidak menyebutnya dengan nomenklatur mencuri, karena prosesnya terbuka dan disaksikan khalayak. Atau bisa juga disebut sebagai ‘Ketum Kudeta’.
Tak penting jawaban Menkopolhukam yang saat ini hanya mengakui AHY sebagai Ketum Partai Demokrat. Sebab, proses legalisasi PD-KLB dapat dilakukan dengan singkat. Setelah itu, bisa saja Kemenkopolhukam mengubah statement dengan menyatakan : ‘seiring proses verifikasi dan legalisasi PD-KLB telah tuntas, pemerintah dengan ini menyatakan Partai Demokrat dibawah Ketum Moeldoko adalah yang sah, dan memiliki hak untuk menjadi kontestan Pemilu’.
Sinyal itu juga bisa dibaca, dari pernyataan Kemenkum HAM yang akan tetap melakukan verifikasi jika PD-KLB didaftarkan. “Kami akan terima dan proses verifikasi akan berjalan sesuai dengan aturan,”, begitu kata Staf Khusus (Stafsus) Menteri Hukum dan HAM, Ian Siagian (6/3/2021).
Karena itu, sebagaimana yang pernah penulis sampaikan kepada Pak SBY, problem sengkarut politik ini bukan hanya di sosok KSP Moeldoko. Namun memang tak elok, jika Pak SBY langsung tuding istana. Karena itu, dalam beberapa artikel penulis hanya membantu menyingkap hakikat kudeta Partai Demokrat ada istana dibelakangnya.
Hanya saja perlawanan Partai Demokrat tidak boleh terjebak dengan menggunakan sarana hukum. Kita semua tahu, rezim mampu mengendalikan semua kekuasaan legislatif hingga yudikatif.
Langkah yang perlu ditempuh, adalah dengan melibatkan publik untuk ikut membersamai partai Demokrat dalam kasus ini. Untuk apa ? Untuk melakukan perlawanan politik terhadap Kudeta Partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko.
Partai Demokrat harus mampu mengangkat isu ini sebagai ancaman bagi publik, bukan hanya bagi Partai Demokrat. Sebab jika tidak, Partai Demokrat akan sendirian dan hal ini akan mempersulit sandaran legitimasi politik dan publik bagi Demokrat untuk melawan.
Cara awal yang telah ditempuh, bersama sejumlah massa dengan mendatangi Kemenkumham dan KPU dalam konteks ‘Perlawan Politik’ pada KSP Moeldoko patut di apresiasi. Ini adalah langkah yang langka, yang tidak pernah ditempuh Partai Demokrat sebelumnya karena hari ini Partai Demokrat harus menyadari bukanlah Partai penguasa yang mampu mengendalikan organ kekuasaan dari eksekutif hingga yudikatif.
Kekuatan partai oposisi bagaimanapun ada pada gerakan masa dan penggalangan opini. Sementara, partai penguasa akan mengoptimalkan organ kekuasaan dari lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif yang meskipun secara de jure terpisah, namun secara de facto semua ada dibawah kendali Presiden.
Sekali lagi, Partai Demokrat tidak boleh terjebak dengan narasi ‘selesaikan secara hukum’ yakni diminta membawa perkara ke pengadilan. Memang benar, pada saatnya Partai Demokrat tak bisa ada pilihan lain selain menggugat ke PTUN saat SK untuk PD-KLB diterbitkan oleh Kemenkum HAM.
Namun, sebelum itu terjadi Partai Demokrat harus menganulirnya dengan cara ‘menekan secara politik’ melalui sarana konstitusional yakni menyampaikan pendapat dimuka umum berdasarkan ketentuan pasal 28 UUD 45 Jo UU No 9 tahun 1998. Ini adalah sengketa politik, hukum hanya dijadikan sarana saja.
Walaupun lambang Partai Demokrat adalah Bintang Mercy, namun dalam kasus ini Demokrat tak perlu risih menjadi ‘Mobil Angkot’ yang turun ke jalan jalan untuk membela hak konstitusionalnya yang telah dirampas oleh KSP Moeldoko. Penulis kira, tak mengapa turun bersama wong cilik, karena wong cilik saat ini telah ditinggalkan oleh PDIP.
Partai Demokrat yang punya garis tangan, Partai Demokrat pula yang harus melawan. Seorang Perwira sejati, tak akan mungkin diam dipecundangi apalagi dikhianati. Meskipun itu dilakukan oleh seorang Jenderal. Bukankah demikian Mas AHY ? [].