Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Saya ingin kemukakan, beberapa fakta yang semoga, dengan membaca fakta ini, Pak Presiden dan Pak Kapolri berkenan memahami fakta lebih jernih, utuh, dan menyeluruh. Agar tak ada narasi sesat ‘UU ITE zalim, harus segera direvisi’ tanpa memperhatikan politik hukum dan kebijakan penegakan hukum yang zalim. Karena UU tanpa penegakan hukum, sesungguhnya hanyalah pedang yang ada dalam sarungnya.
Penegak hukum lah, yang menghunus pedang itu, kemudian digunakan untuk ‘memenggal’ siapapun elemen rakyat baik ulama maupun aktivis Islam yang melaksanakan kewajiban dakwah Islam, amar Maruf nahi Munkar, melakukan kontrol (muhasabah) dan mengajukan kritik pada penguasa. Itu persoalan utamanya, sementara UU ITE yang zalim, hanyalah faktor tambahan.
Begini Pak Presiden dan Pak Kapolri,
Semua penangkapan ulama dan aktivis itu, tidak akan terjadi jika polisi tidak menindaklanjuti laporan. Apakah bisa polisi mengabaikan laporan ? Sangat bisa. Contohnya, laporan terhadap Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, Sukmawati, dan semua aduan terhadap pihak yang pro rezim, itu kebijakan penegakan hukumnya hanya dua : 1. Laporan ditolak. 2. Laporan diterima, tapi proses sekedarnya, tidak sampai digunakan untuk menangkap apalagi memenjarakan pihak yang dilaporkan.
Kenapa, kebijakan penegakan hukum yang dilakukan terhadap Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, Sukmawati, ini tidak berlaku pada Ustadz Maaher, Gus Nur, Ali Baharsyah, HRS, Ust Sobri Lubis, Syahganda Nainggolan, Ustadzah Kinkin, dan semua tokoh pengkritik rezim ? Kenapa, Gus Nur dll, langsung ditangkap dan dipenjara ?
Jadi, biang keroknya bukan hanya UU ITE, tapi kebijakan penegakan hukum yang diambil Polri tidak adil, diskriminatif, tidak equality before the law, tidak Promoter.
Lagipula, banyak kasus yang dikriminalisasi bukan berasal dari laporan masyarakat. Ada juga, laporan internal polri melalui Patroli Siber. Jadi, jangan mengkambinghitamkan pelapor, tapi semestinya evaluasi kebijakan penegakan hukum Polri yang tidak adil, diskriminatif, tidak equality before the law, tidak Promoter.
Selanjutnya, kasus kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis Islam itu bukan hanya menggunakan UU ITE. Ada yang menggunakan pasal kuno, yakni UU No 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Pidana. Contohnya, penggunaan pasal hoax yang digunakan untuk menjerat Ali Baharsyah dan Syahganda Nainggolan dan pasal ‘membikin uang’ pada kasus Dinar Dirham Zaim Saidi.
Sejak kuliah hingga hari ini, saya mendengar kabar orang dipersoalkan bohong dengan UU ini hanya di era Presiden Jokowi. Pada era pendahulunya, UU ini tidak pernah digunakan untuk mengkriminalisasi rakyat.
Ada juga yang dijerat dengan UU Karantina Kesehatan dan KUHP seperti pada kasus HRS dan para petinggi FPI. Meskipun bukan dengan UU ITE, mereka semua dikriminalisasi dan masuk penjara.
Jadi, semua kriminalisasi di era Presiden Jokowi ini bukan semata salah UU ITE. Tapi, salah pada kebijakan politik hukum yang ditetapkan Presiden dan dijalankan Polri. Yakni, kebijakan hukum yang represif terhadap rakyat, politik hukum yang membungkam suara kritis rakyat berdalih isu menegakkan hukum.
Karena itu, Pak Presiden dan Pak Kapolri jujur saja. Akui ada kesalahan pada politik hukum Presiden dan Kebijakan penegakan hukum Polri. Jangan mengkambinghitamkan UU ITE, jangan melempar masalah ke DPR agar DPR merevisi UU ITE.
Anggota DPR juga jangan jadi dungu, ikut bersorak sorai menanggapi wacana revisi UU ITE. Kalau DPR sadar, presiden sedang melempar kotoran UU ITE ke DPR, agar DPR menjadi ‘tukang cebok’ untuk membersihkan kotoran yang menodai eksekutif. Semestinya, DPR justru ikut mengkritik politik hukum Presiden dan Kebijakan penegakan hukum Polri. Bukan malah jadi ‘Tukang Cebok’ bagi eksekutif. Sebelumnya, DPR telah menjadi alat stempel politik eksekutif. [].