Zaim Saidi, Dinar & Sufisme

Oleh : Zaim Uchrowi, Penulis, Ketua Yayasan Karakter Pancasila
Rabu, 10 Februari 2021 07:07 WIB

Kebetulan nama kami sama-sama Zaim. Nama yang tidak lazim di publik. Apalagi di generasi yang lahir awal 1960-an seperti kami. Saya Zaim Uchrowi, dia Zaim Saidi. Kami sama-sama besar di kota kecil Jawa yang sejuk. Saya di Magetan, Jawa Timur. Dia di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

Mungkin karena dari daerah, kami sama-sama tertarik kuliah di IPB di Bogor. Apalagi saat itu IPB sedang menjadi model pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Profesor Andi Hakim Nasution yang mengupayakannya.

Ya, Pak Andi Hakim. Salah seorang akademisi-pendidik terbesar yang pernah dilahirkan Indonesia. Beliaulah yang memperkenalkan program pendidikan sarjana 4 tahun. IPB perintisnya. Lalu diikuti seluruh universitas lain di Indonesia. Saya, dan juga Zaim Saidi, pun masuk IPB.

Kebetulan kami juga sama-sama suka tulis menulis. Kemudian juga sama-sama tertarik pemberdayaan masyarakat. Pembeda kami: Zaim Saidi sungguh jenius. Maka kuliahnya di Jurusan Teknologi Pangan. Jurusan yang hanya dimasuki anak-anak cerdas. Lagipula dia ganteng dan jangkung.

Selepas kuliah, kami menempuh jalur berbeda. Namun masih berhubungan. Saya jadi wartawan di Tempo, lalu Republika sebelum memimpin BUMN Balai Pustaka kemudian hijrah ke LKBN Antara. Sedangkan Zaim Saidi bergabung ke Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI). LSM prestisius saat itu.

Ditempa Erna Witoelar, tokoh LSM dunia yang jadi menteri di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Zaim menjadi Sekjen YLKI di usia sangat muda. Dia aktif jadi penggerak perlindungan konsumen. Baru kemudian pemerintah membentuk Direktorat Perlindungan Konsumen di Kementerian Perdagangan.

Integritas menjadi ciri orang-orang YLKI. Riset-riset produk buat konsumen harus sepenuhnya independen. Tak boleh disponsori produsen manapun. Zaim Saidi salah satu yang terbaik di sana. Dia seorang ‘walk the talk’. Integritas dia sangat teruji.

Selain itu, di pertengahan 1980-an itu, Zaim Saidi juga menjadi kolumnis media. Sebagaimana Gus Dur, Zaim Saidi adalah kolumnis Tempo. Dia kolumnis termuda majalah itu. Artikelnya juga dimuat di berbagai media ternama lain, seperti Kompas dan Sinar Harapan.

Akademisi, wartawan, apalagi aktivis LSM di masa itu hampir pasti mengenalnya. Dia bersahabat dengan almarhum AE Priyono, pemikir dan penulis masalah sosial. Mereka sedaerah di Temanggung, Jawa Tengah. Di Depok, mereka juga bertetangga.

Dari lingkaran AE Priyono, Zaim terhubung dengan para intelektual alumni Yogya, seperti Hamid Basyaib hingga Mahfudh MD yang kini Menko Polkam. Zaim juga akrab dengan para intelektual Jakarta generasi Ade Armando, Eep Syaefulloh, Ihsan Ali Fauzi, hingga Nurul Agustina.

Kesempatan melanjutkan studi pun diambilnya. Dia mengambil master bidang kebijakan publik di Australia. Sepulang dari sana, ia mendirikan lembaga kajian publik PIRAC. Asrorun Ni’am, dulu Ketua Umum PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) yang kini jadi salah seorang Pimpinan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dari NU (Nahdlatul Ulama(

Di antara kawan-kawannya, gagasan Zaim Saidi sering tak terduga. Seperti tiba-tiba saja dia mendatangi lembaga sosial Dompet Dhuafa. Mengusulkan untuk membuat gerakan wakaf. Banyak yang paham soal wakaf. Tapi wakaf sebagai gerakan itu apa? Semua mengernyitkan kening saat itu.

Toh, Dompet Dhuafa menyambut gagasannya. Zaim Saidi dan Dompet Dhuafa menggulirkan gerakan wakaf itu. Banyak yang kemudian mengikutinya. Sampai pemerintah pun belakangan kemudian membentuk Badan Wakaf Indonesia. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh ditunjuk memimpinnya.

Wakaf sebagai gerakan terus bergulir. Bahkan dipandang penting buat menggerakkan ekonomi. Terutama di saat ekonomi sedang tak mudah saat ini. Maka Presiden pun meluncurkan Gerakan Wakaf Nasional. Wakaf kini menjadi gerakan muamalah nasional.

Diakui atau tidak, Zaim Saidi telah memulai menjadikan wakaf sebagai sebagai gerakan nasional. Tapi setelah itu dia malah ‘menghilang’. Ternyata dia hijrah ke Cape Town, Afrika Selatan beberapa lama. Di sana dia belajar tasawuf. Saya kaget mendengar itu.

“Zaim Saidi bertasawuf?” Pola pikirnya selama ini cenderung Muhammadiyah. Sedangkan tasawuf lebih terasosiasi dengan NU. Sayalah yang besar dari lingkungan tasawuf, yakni aliran Tarekat Sathariyah — tasawufnya Pangeran Diponegoro— di Pesantren Sabilil Muttaqien Takeran. Pesantren yang dibakar PKI tahun 1948.

Lalu tiba-tiba Zaim Saidi juga bertasawuf. Tasawufnya Tarekat Murabithun yang imam atau ‘mursyid’nya adalah Ian Dallas. Sahabat muda gitaris Eric Clapton. Lagu Eric Clapton ‘Tears in Heaven’ kabarnya dipengaruhi oleh nilai spiritualitas Ian Dallas. Syeikh Abdul Qadir kini namanya.

Zaim menyebut mulanya tarekat itu berpusat di Maroko. Syeikh Abdul Qadir memindahkannya ke Afrika Selatan. “Cape Town itu sangat spiritualistis,” katanya saat itu pada saya. “Kota itu dikelilingi 16 makam wali. Salah satunya dari Indonesia, Syekh Yusuf.” Zaim Saidi berguru ke sana.

Murabithun serupa tarekat sufi lainnya. Penekanan tarekat ini penyucian hati. Jauhi segala kekerasan. Selebihnya ya bermasyarakat biasa. Bermuamalah mengikuti Sunnah Nabi. Sunnahnya, menurut Zaim Saidi, “seperti yang dipraktikkan oleh para sahabat dan generasi awal muslim.”

Kalau Jamaah Tabligh memilih ‘khuruj’ –bersafari dakwah— sebagai sunnah yang diikutinya. Murabithun memilih bersunnah dengan penggunaan dinar dirham. Itu yang membuat Zaim Saidi lalu jadi penggerak penggunaan dinar dirham.

Karena aktivitas Zaim Saidi itu, saya menanggung akibatnya. Beberapa kali saya dihubungi orang. Menanyakan soal dinar dirham. “Wah itu pasti keliru,” kata saya. Mereka bingung antara Zaim Saidi dan Zaim Uchrowi. Maka saya hubungi Zaim Saidi. Mengapa sih sibuk mengurus dinar dirham?

“Dinar dirham itu emas dan perak. Punya nilai intrinsik. Bentuknya saja koin, dan ukurannya sudah disepakati dunia selama berabad-abad,” Zaim Saidi memaparkan panjang lebar. Maka dulu, lanjutnya, setiap pencetakan uang kertas selalu dijamin dengan cadangan emas.

Dia benar. Dulu semua begitu. Sekarang tinggal Swiss yang masih mencadangkan emas buat setiap pencetakan uang. Seluruh dunia sudah menghapus sistem itu. Walau begitu, Amerika hingga China pun tetap menyimpan emas besar-besaran. Termasuk yang dari Freeport Indonesia.

Disebut Zaim Saidi, tak ada yang dirugikan dalam bermuamalah dengan dinar dirham. “Dulu dengan satu dinar dapat satu kambing. Sekarang satu dinar dapat satu kambing juga, dan bahkan lebih,” katanya sekitar delapan tahun silam.

Maka ia pun mengajak teman-temannya berdinar dirham dalam bermualamah. Banyak yang menyambutnya. Membeli dinar dirham. Seperti untuk tabungan dan juga mahar. Bahkan menjadi tren buat mahar pernikahan kalangan milenial. Ada juga yang buat berdagang.

Zaim Saidi segera terasosiasi dengan dinar dirham. Membuatnya dikagumi dan dijauhi. Para pengikut Wahabi menudingnya sesat karena dia bertasawuf. Kalangan Hizbut Tahrir juga merasa terganggu. Sebab Zaim Saidi mengkritisi praktik riba yang membelit Kekhalifahan Turki Usmani.

Sempat pula dia berpolemik dengan beberapa aktivis ekonomi syariah. Zaim Saidi menyebut masih ada hal ribawi pada sebagian praktik ekonomi syariah. Bahkan ada aktivis dinar dirham yang dikritiknya. “Dia bermain spekulasi buat membisniskan dinar,” kata Zaim Saidi.

Buat Zaim, dinar dirham sama sekali bukan bisnis. Dinar dirham baginya adalah sarana muamalah. Sarana yang sah dan adil bagi semua. Nilainya tetap dari masa ke masa. Tak ada yang dirugikan. Untuk ekonomi keluarganya sendiri, Zaim Saidi memilih berjualan buku.

Tak hanya mempromosikan dinar dirham, Zaim Saidi juga menggagas ‘pasar muamalah’. Baginya, pasar harus terbuka bagi semua. Siapa datang lebih awal, silakan memilih lokasi lapak. Alat tukarnya apapun yang sah dan disepakati penjual-pembeli. Termasuk dinar dirham tentu.

Nah, pasar muamalah ini yang menarik perhatian publik. Kok ada ‘pasar’ yang pakai koin dinar dirham. Sebagian orang mengapresiasi. Di saat sulit ekonomi karena pandemi begini, kreativitas menggerakkan ekonomi masyarakat sangat penting. Seberapa pun aktivitas ekonomi itu.

Namun kini era media sosial. Apapun yang tak lazim akan viral. Tak terkecuali pasar muamalah dengan dinar dirham itu. Lalu heboh. Zaim Saidi diperiksa dan ditahan polisi. Banyak yang heran. Bertransaksi dengan voucher dan Alipay saja boleh. Apa salahnya dengan dinar dirham yang sah dan dikeluarkan BUMN seperti PT Aneka Tambang?

Kepolisian memang sangat tanggap. Segala yang viral selalu dicermati dan diperiksa. Wajar bila polisi pun memeriksa Zaim Saidi. Tapi, apakah perlu menahan? Mungkin polisi menganggapnya perlu. Buat mempermudah pemeriksaannya. Hanya Allah SWT dan polisi yang lebih tahu soal itu.

Semoga saja pemeriksaan itu berjalan baik. Hingga polisi dapat segera memastikan bahwa Zaim Saidi sungguh orang baik. Juga bahwa dinar dirham serta pasar muamalah yang dipromosikannya adalah baik. Buat warga, juga buat Indonesia. Saya termasuk yang meyakini itu.

Sudah seperempat abad saya mengkaji karakter dan Pancasila. Lalu mendirikan Yayasan Karakter Pancasila. Karakter Zaim Saidi dapat saya sebut sebagai contoh baik karakter anak negeri ini. Jujur, berintegritas, dan berkomitmen. Karakter yang sungguh perlu diteladani.

Maka, semoga kasus pasar muamalah dengan dinar dirham segera jernih kembali. Lalu Zaim Saidi dapat kembali aktif menebar kebaikan bagi pertiwi. Kita tahu, hukum bukan sekadar rumusan legal formal. Hukum pasti juga melindungi orang baik yang berbuat baik. Insya Allah.*

Simak berita dan artikel lainnya di Google News