by M Rizal Fadillah
Pertanyaan aneh tetapi rasional berdasarkan pengalaman empirik. Pemilu 2019 telah tewas lebih dari 700 an petugas secara misterius tanpa penyelidikan seksama. Di tambah saat aksi unjuk rasa 21-22 Mei. Saat itu Pemilu digabung antara Pileg dan Pilpres. Nah kini ada beberapa partai politik bersikukuh untuk menyelenggarakan Pemilu serentak bukan saja Pileg dengan Pilpres tetapi juga bersama Pilkada.
Terbayang tingkat kesulitan dan “kelelahan” penyelenggara. Belum kecurangan. Waktu lalu rakyat perhatian tersedot ke Pemilu Pilpres sehingga perhatian dan pengawasan pada Pileg menjadi kurang. Abai terhadap kecurangan yang mungkin saja masif pada Pileg. Bukan lagi rahasia jika money politics marak juga pada Pileg. Semua tertutup oleh magnet kompetisi dua pasang kontestan Pilpres.
Partai memang pragmatis dan “koor” suara mayoritas setelah Presiden sebagai dirijen melalui Moeldoko memberi arah kecenderungan kepada Pilkada 2024. Tak peduli garuk garuk kepala KPU bingung dan bersiap dengan risiko yang lebih parah dari Pemilu tahun 2019. Petugas yang terbunuh oleh “kelelahan” kelak mungkin lebih banyak lagi. Lalu siapa yang harus tanggung jawab ?
Karenanya DPR RI dalam memutuskan bahwa Pilkada serentak dilaksanakan tahun 2024 sebaiknya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, evaluasi total penyelenggaraan Pemilu gabungan Pileg dan Pilpres tahun 2019 dan harus ada model pelaksanaan penyelenggaraan yang baru agar lebih terjamin keamanan khususnya para petugas.
Kedua, penyelidikan ulang kasus terbunuh akibat “kelelahan” para petugas Pemilu karena peristiwa ‘”pelanggaran HAM” ini dinilai janggal dan baru terjadi dalam sejarah Pemilu di negara Republik Indonesia.
Ketiga, KPK, Pemilu Watch, serta aparat lebih seksama mempersiapkan pengawasan Pemilu serentak “aneh” dan “dipaksakan” tahun 2024 tersebut, karena politik uang, kecurangan, serta “virus” sabotase sangat mungkin terjadi di tengah kebingungan KPU dan penyelenggara Pemilu Daerah.
Perlu penegasan pula bahwa Pileg, Pilpres, dan Pilkada yag dilakukan serentak tahun 2024 sebenarnya bukanlah pelaksanaan dari asas demokrasi (kedaulatan rakyat) melainkan sebuah praktek dari mobokrasi (kedaulatan gerombolan). Bagaimana tidak, pemaksaan kehendak politik (political violence) lebih dikedepankan daripada kebijakan politik (political wisdom). Partai berjuang melalui upaya politik dengan “memakan” kelompok politik yang lemah, bila perlu dengan cara pengeroyokan.
Merujuk Pemilu 2019 yang lalu, wajar bila timbul pertanyaan serius muncul dalam benak publik, apakah Pemilu 2024 akan berjalan dengan jujur, adil, dan aman ?
Berapa orang petugas dan rakyat akan terbunuh disebabkan partai-partai politik yang hanya memikirkan kepentingan partainya sendiri ?
Paradigma politik kontemporer yang sama sekali tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat !
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 4 Februari 2021