Perpres No 7 Tahun 2021, terkait RAN PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme berbasis Kekerasan Yang Mengarah Kepada Aksi Terorisme) berpotensi kontraproduktif dan melahirkan kontraksi sosial baru.
Demikian dikatakan Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya dalam pernyataan kepada suaranasional, Senin (18/1/2020).
Kata Harits, Perpres No 7 Tahun 2021 memudahkan fitnah bertebaran di tengah masyarakat. Dan ini bukan menyatukan tetapi makin membuat keterbelahan kehidupan sosial masyarakat. “Masyarakat digiring sibuk pada persoalan cabang atau dampak dan bukan pada persoalan hulu,” ujarnya.
Dalam mengatasi masalah ektrimisme dan terorisme, kata Harits, pemerintah menyelesaikan persoal hulu dengan meningkatkan kehidupan ekonomi, kesejahteraan dan kwalitas SDM rakyat Indonesia dan kedua yang tidak kalah darurat adalah tegakkan keadilan. “Ciptakan iklim kepercayaan publik kepada pemerintah bahwa keadilan bisa tegak di bumi NKRI,” papar Harits.
Menurut Harits, diksi “ekstrimisme” serta makna yang diadopsi dalam perpres potensi melahirkan perdebatan karena ambigu. Karena menyasar wilayah “kayakinan”, lain soal dengan “tindakan kekerasan”.
“Dengan paradigma dan parameter apa pada level implementasi untuk menilai sebuah “keyakinan dan atau tindakan kekerasan” itu sebagai ekstrimisme? Potensi subyektifitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol,” jelas Harits.