kepada Yth,
Saudara Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Di
JAKARTA.
Perihal : SOMASI UMUM
Dengan Hormat,
Perkenankan kami, Prof Dr. Eggi Sudjana Mastal, SH, MSI dan Ahmad Khozinudin, S.H., dalam kedudukan selaku Advokat dan Penegak Hukum berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat, mengajukan somasi ini.
Sehubungan dengan pernyataan Saudara, yang menyatakan adanya sanksi pidana baik penjara maupun denda bagi siapapun menolak divaksinasi terkait mewabahnya virus Corona, berdalih ketentuan pasal 93 Jo pasal 9 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan melalui akun YouTube PB Ikatan Dokter Indonesia berjudul “Webinar Nasional: Kajian Hukum, Kewajiban Warga Negara Mengikuti Vaksinasi” yang diunggah pada Sabtu (9/1/2021).
Terhadapnya disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa keberlakuan ketentuan pidana baik penjara satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sebagaimana saudara maksud dalam pasal 93 Jo pasal 9 ayat (1) adalah sanksi yang dilekatkan pada ketidakpatuhan pada penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan bukan diperuntukkan bagi setiap warga negara yang menolak vaksinasi virus Corona dengan Vaksin Sinovac.
Adapun bunyi pasal 93 UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan lengkapnya sebagai berikut :
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
2. Bahwa sejak ditetapkan Bencana Non Alam melalui KEPPRES No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional tanggal 13 April 2020, Pemerintah belum atau tidak pernah menetapkan kebijakan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 Jo pasal 1 angka 10 UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah hanya menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdasarkan ketentuan pasal 59 Jo pasal 1 angka 11 UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
3. Bahwa oleh karenanya, tidak ada relevansinya menetapkan sanksi pidana baik penjara satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), karena Pemerintah tidak atau belum pernah menetapkan kebijakan Karantina Wilayah. Padahal, pemberlakuan Sanksi pidana berdasarkan ketentuan pasal 93 Jo pasal 9 ayat (1) hanya berlaku bagi ketidakpatuhan pada penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan bukan diperuntukkan bagi setiap warga negara yang menolak vaksinasi virus Corona dengan Vaksin Sinovac.
4. Bahwa segenap rakyat diberikan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Dengan demikian, menetapkan bersedia atau keberatan untuk disuntik vaksin sinovac dan memilih layanan kesehatan lain yang aman, atau memilih untuk bersabar dalam menghadapi pandemi sambil berdoa agar Allah SWT segera angkat pandemi, adalah pilihan bebas yang dijamin UU.
Dalam ketentuan pasal 5 ayat 2 dan 3, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan :
“(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.”
“(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.”
5. Bahwa didalam konstitusi UUD 1945 berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat 1-2, disebutkan :
“(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
“(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”
Kemudian, dalam ketentuan Pasal 28b ayat 2, juga disebutkan :
“Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Dengan demikian, kebebasan memilih divaksin atau tidak divaksin sinovac, adalah manifestasi dari hak konstitusional berupa hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak atas bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif, dan hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
6. Bahwa tindakan Saudara Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, terkait ancaman pidana bagi warga masyarakat yang menolak vaksinasi tidak berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM RI. Faktanya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membantah adanya sanksi pidana bagi warga masyarakta yang menolak vaksin. Menkumham Yasonna Laoly, hanya menghimbau masyarakat tetap ikut program vaksinasi Covid-19. (13/1/2021).
Karena itu, patut diduga Saudara Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., tidak mengerti hierarki jabatan, prosedur mengeluarkan pernyataan kepada publik, serta tak memahami asas-asas umum pemerintahan yang baik.
7. Bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berkewajiban menertibkan arus informasi dan hierarki jabatan agar Marwah dan Wibawa lembaga terjaga. Pernyataan Saudara Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H. selaku Pejabat Wamenkum HAM jelas mencoreng wibawa lembaga Kementerian Hukum dan HAM RI.
8. Bahwa pernyataan saudara Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H. selaku Pejabat Wamenkum HAM terkait ancaman pidana bagi yang menolak vaksinasi, adalah pernyataan yang patut diduga terkategori membuat dan/atau mengedarkan berita bohong. Pernyataan saudara juga patut diduga sebagai tindakan yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu. Hal mana patut diduga melanggar ketentuan pasal 14 Jo pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana dan/atau pasal 421 KUHP.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana kami kemukakan diatas, kami melayangkan somasi umum Kepada Saudara Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum selaku pejabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, agar melakukan tindakan :
Pertama, menyampaikan permohonan maaf kepada publik atas pernyataan saudara yang memberikan ancaman pidana kepada masyarakat yang tidak mengikuti program vaksinasi pemerintah, karena pernyataan dan ancaman ini tidak berdasar, ilegal dan inkonstitusional.
Kedua, lebih memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya vaksinasi dengan tetap memberikan alternatif pilihan kepada masyarakat tanpa mengeluarkan statement yang bisa dipahami publik sebagai ‘paksaan’ untuk ikut program vaksinasi.
Ketiga, berjanji untuk tidak melakukan kesalahan lagi, dan akan selalu membuat kajian hukum termasuk berkoordinasi dengan atasan, sebelum mengeluarkan pernyataan kepada publik.
Jika saudara tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam somasi ini, maka kami akan menindaklanjuti Somasi dengan membuat Laporan Polisi berdasarkan ketentuan pasal 14 Jo pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana dan/atau pasal 421 KUHP.
Demikian somasi disampaikan,
Jakarta, 15 Januari 2021
TTD
Prof Dr. Eggi Sudjana Mastal, SH, MSI
Advokat
TTD
Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat