Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
[Pasal 160 KUHP]
Sore ini (Ahad, 29/11] beredar surat panggilan Polisi sebagai saksi yang ditujukan kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan menantunya Habib Muhammad Hanif Alatas. Soal yang beredar masih terkait kerumunan hajatan HRS yang menikahkan putrinya, beberapa waktu lalu.
Mungkin saja, publik mengira hal ini masih terkait dengan penegakan disiplin protokol kesehatan dalam masa pandemi. Namun jika didalami, siapapun yang meneliti surat panggilan polisi tersebut akan menemukan fakta berbeda yang mungkin mengandung motif berbeda.
Pertama, pada saat pengambilan keterangan terhadap Anies Baswedan dan KH Abdullah Asy Syafi’i, keduanya diminta hadir dalam kapasitas dimintai keterangan dan klarifikasi melalui Surat Undangan Klarifikasi. Ihwal yang menjadi dasar permintaan klarifikasi adalah adanya penyelidikan perkara pidana berdasarkan ketentuan pasal 93 Jo pasal 9 UU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Meskipun ada pasal pidana berdasarkan KUHP, terhadapnya hanya disematkan pasal 216 KUHP, yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Ketentuan Pasal 93 Jo pasal 9 UU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan pasal 216 KUHP ini ada dalam Surat Undangan Klarifikasi yang ditujukan kepada Anies Baswedan dengan Nomor : B/19925/IX/RES.12.4/2020 Ditreskrimum.
Kedua, adapun surat yang dikeluarkan Polda Metro Jaya untuk HRS dan menantunya melalui Surat Nomor : S.Pgl/8766/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum dan Surat Nomor : S.Pgl/8767/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum, berisikan Surat Panggilan untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Bahkan, surat panggilan juga dilampirkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dengan Nomor : B/19237/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum. Itu artinya, pasca pemeriksaan sebagai saksi akan ada Tersangka yang ditetapkan Polda, mengingat proses pidana telah dinaikkan dari penyelidikan ke tahap Penyidikan.
Padahal, saat pengambilan keterangan Anies Baswedan dan KH Abdullah Abdurrasyid Asy Syafi’i, perkaranya baru pada tingkat penyelidikan.
Ketiga, ada pasal KUHP baru yang disematkan Polda Metro Jaya dalam Surat Nomor : S.Pgl/8766/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum dan Surat Nomor : S.Pgl/8767/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum. Pasal tersebut adalah pasal 160 KUHP dengan ancaman pidananya 6 (enam) tahun penjara. Pasal ini menjadi petunjuk adanya indikasi penyidik Polda bukan hanya ingin menetapkan Tersangka, tetapi juga sekaligus akan menahan Tersangkanya.
Sebab, jika Polda konsisten menggunakan Pasal 93 Jo pasal 9 UU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan pasal 216 KUHP, maka Polda Metro Jaya tak akan dapat menahan Tersangka, sebab pasal yang dijadikan rujukan dalam pengambilan klarifikasi Anies Anies Baswedan dan KH Abdullah Abdurrasyid Asy Syafi’i, ancaman pidananya dibawah 5 (lima) tahun sehingga penyidik tak memiliki dasar kewenangan menahan Tersangkanya.
Keempat, ada motif dendam rezim yang disalurkan melalui proses-proses pidana ini dengan munculnya pasal 160 KUHP. Pemanggilan sebagai saksi kemudian ditingkatkan menjadi Tersangka, itu peristiwa lumrah di negeri ini.
Artinya, pasal 160 KUHP inilah yang dijadikan modal untuk mengkriminalisasi HRS atas tuduhan penghasutan, dan bukan atas dasar pelanggaran protokol kesehatan berdasarkan ketentuan UU Nomor 6 Tahun 2018. Pasal ini memiliki tuah untuk menahan tersangkanya, karena ancaman pidananya diatas lima tahun sehingga penyidik memiliki wewenang untuk menahan tersangkanya.
Akankah proses ini merupakan kelanjutan dendam rezim yang gagal menyeret HRS ke bui pada kasus Fake Chat di Polda Metro Jaya dan Penghinaan Pancasila di Polda Jabar ? Kita akan lihat bersama.
Yang jelas, pemanggilan dan disematkannya ketentuan pasal 160 KUHP dalam Surat Nomor : S.Pgl/8766/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum dan Surat Nomor : S.Pgl/8767/XI/RES.12.4/2020 Ditreskrimum, menjadi bukti bahwa hukum di negeri ini benar-benar telah berubah menjadi alat politik, alat untuk merepresi lawan politik. Lagi-lagi tindakan seperti ini adalah tindakan memukul, bukan merangkul sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi