Pengakan hukum yang tidak adil dan terlihat politis terlihat rencana pemanggilan Habib Rizieq Syihab (HRS) oleh Polda Metro Jaya dalam dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Demikian dikatakan dikatakan Direktur Habib Rizieq Syihab Center (HRS Center) Abdul Chair Ramadhan dalam pernyataan kepada suaranasional, Senin (30/11/2020).
Kata Abdul Chair, HRS telah membayar denda administratif Rp.50 juta sesuai dengan regulasi Pemprov DKI Jakarta. Menurut asas “nebis in idem”, maka seharusnya terhadap HRS tidak dapat dilakukan proses hukum.
“Penyidikan lebih bermuatan politis ketimbang yuridis dan oleh karenanya cenderung dipaksakan,” jelasnya.
Kata Abdul Chair, penerapan hukum yang tidak berimbang ini adalah bentuk penyimpangan (deviasi) asas “equality before the law” dan “kepastian hukum yang adil” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Ia mengatakan, masuknya Pasal 160 KUHP dalam proses penyidikan Protokol Kesehatan – termasuk tetapi tidak terbatas pada kerumunan – dengan Terlapor IB HRS sangat ganjil. Sebelumnya dalam tahap penyelidikan tidak ada pasal tersebut.
“Penyidik dan/atau Penuntut Umum memiliki alasan untuk melakukan penahanan. Disebutkan demikian, oleh karena ancaman hukuman Pasal 160 KUHP selama enam tahun. Pasal 21 Ayat (4) huruf a KUHAP menyebutkan bahwa penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,” jelasnya.
Kata Abdul Chair, HRS berpotensi dilakukan penahanan, ketika statusnya naik menjadi Tersangka dan/atau pada saat status Terdakwa. Ditegaskan kembali, tidak ada delik dalam PSBB dan Protokol Kesehatan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
“Sepanjang tidak ada pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan, maka Pasal 160 KUHP dan 216 KUHP telah kehilangan objeknya,” pungkasnya.