Oleh: M Rizal Fadillah
Kepulangan HRS fenomenal dan telah menyentak. Berdampak pada rencana pemeriksaan HRS, tokoh yang hadir di pernikahan, serta pemanggilan Gubernur Anies Baswedan. Tuduhannya ialah pelanggaran protokol kesehatan. Dasarnya UU Kekarantinaan Kesehatan. Sanksi pidana pun diancamkan.
Anies diperiksa Polda Metro Jaya selama 10 jam. Bahasa panggilan adalah klarifikasi tetapi dengan “10 jam” maka konklusinya adalah “pemeriksaan” karena Anies menandatangani semacam Berita Acara. Pakar melihat bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang digunakan untuk menyerang Gubernur Anies merupakan suatu penyimpangan.
Kerumunan tidak bisa dihukum pidana di tengah kebijakan PSBB. Karenanya upaya memanggil Anies oleh Kepolisian dinilai mengada-ada dan kemungkinan akan gagal. Ketakutan kepada Anies sebagaimana ketakutan pada HRS sangat terasa. Pencopotan Anies nampaknya menjadi agenda.
Tiba tiba Mendagri Tito Karnavian mantan Kapolri membuat Instruksi No 6 tahun 2020 berisi 6 butir yang berkaitan dengan kerumunan dan covid 19. Yang dinilai “mengarah” adalah butir 3 dimana Kepala Daerah dilarang untuk ikut kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.
Demikian pula butir 4 yang menegaskan berdasarkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Kepala Daerah harus mengikuti seluruh ketentuan perundang-undangan. Butir 5 menyatakan Kepala Daerah yang melanggar Undang-Undang dapat diberhentikan.
Bahwa Kepala Daerah yang melanggar UU dapat diberhentikan merupakan hal yang normatif. Persoalannya adalah bahwa cara memberhentikan harus dilakukan menurut UU pula. Bukan dengan interpretasi.
Pemanggilan oleh Kepolisian kepada Gubernur DKI Anies Baswedan yang dilanjutkan dengan terbitnya Instruksi Mendagri yang mengancam pemberhentian sangat mengesankan bahwa Instruksi ini merupakan teror bagi para Kepala Daerah.
Kepala Daerah dipilih rakyat karenanya tidak bisa diberhentikan oleh Mendagri. Proses yang harus ditempuh harus melalui wakil rakyat di lembaga DPRD baik didahului Putusan Pengadilan atau tidak.
Mendagri seolah-olah hendak mengambil oper kewenangan DPRD. Seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia terancam oleh penyimpangan kewenangan Mendagri ini. Selayaknya seluruh Kepala Daerah melakukan protes keras. Terkesan bahwa Mendagri adalah pejabat suci yang bisa seenaknya menghukum berdasarkan tafsir sendiri “melanggar UU”.
Instruksi Mendagri No 6 tahun 2020 harus dicabut atau diadukan ke Mahkamah Agung untuk uji materil. Instruksi ini manipulatif seolah-olah menegakkan UU padahal sebenarnya melanggar UU.
Di negara demokrasi yang berkedaulatan hukum, tidak boleh ada kebijakan politik memperalat hukum. Jika ada pejabat yang melakukan demikian dengan maksud teror kepada pihak lain, maka pejabat tersebut pantas untuk disebut sebagai teroris.
Dan kita telah sepakat bahwa segala bentuk terorisme haruslah dibasmi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bandung, 20 Nopember 2020