Mahfud MD, HRS dan Kekuatan Opini Publik

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sebuah Opini jangan dianggap sepele, karena berawal dari opini semua peristiwa bisa terjadi. Opini hanya sebatas opini, tapi jika Opini telah diadopsi publik menjadi opini umum dan apalagi hingga membangun kesadaran umum masyarakat, maka opini ini juga akan mampu menggerakkan masyarakat. Banyak perubahan sikap dan kebijakan penguasa, diantaranya karena sebab dan mempertimbangkan opini publik.

Karena itu, pengkondisian opini umum untuk suatu tujuan umum juga dilakukan penguasa. Opini umum oleh penguasa akan dijadikan sandaran legitimasi publik untuk mengeluarkan kebijakan politik.

Dalam kasus kepulangan IB HRS misalnya. Pemerintah sebelumnya, baik melalui Polri, Kemenkes, Kedubes RI untuk KSA, hingga Menkopolhukam, rajin mengedarkan narasi yang mendiskreditkan IB HRS. Dari soal koordinasi kasus, tudingan pelanggaran hukum dan sanksi deportasi, penegakan disiplin protokol covid-19, hingga ancaman akan ‘disikat’ bagi siapapun yang berbuat rusuh.

Kuat dugaan, opini yang diedarkan secara sistematis dan terstruktur oleh institusi representasi pemerintah itu dilakukan untuk melegitimasi rencana untuk menerapkan kebijakan politik. Kebijakan itu tak lain adalah politik isolasi dan alienasi melalui sarana kriminalisasi, baik kepada IB HRS maupun pendukungnya.

Kriminalisasi bisa ditempuh melalui pengangkatan sejumlah kasus yang sebenarnya bukan kasus hukum, tetapi diupayakan mendapatkan legitimasi publik untuk dijadikan kasus hukum. Adapun kriminalisasi terhadap pendukung yang akan ‘disikat’ dengan dalih membuat rusuh, bertujuan untuk menjauhkan IB HRS dari pendukungnya, sekaligus menimbulkan efek jera bagi pendukung. Puncaknya, ini adalah kelanjutan politik isolasi dan alienasi politik, dari politik isolasi dan alienasi luar negeri menuju politik isolasi dan alienasi di dalam negeri.

Kenapa IB HRS harus diisolasi dan dialiensi dari umat ? Karena IB HRS berpotensi memimpin perlawanan terhadap kezaliman rezim. Inilah, yang selama ini dikhawatirkan rezim setelah gagal menundukkan IB HRS dengan sejumlah tawaran negosiasi.

Namun, begitu publik khususnya umat Islam melawan opini dan narasi yang diedarkan rezim, dengan menjelaskan kepada publik penjemputan kepulangan IB HRS adalah wujud rasa syukur, gembira dan bahagia atas kepulangan salah satu anak bangsa yang rindu kembali ke kampung halamannya, tak ada niatan rusuh kecuali ingin turut berbahagia hadir dalam penjemputan. Narasi yang melawan seluruh logika kacau yang diedarkan Polri, Kedubes Indonesia untuk KSA, Kemenkes, hingga Menkopolkam, barulah arus opini publik bernsklik arah.

Opini umat terutama yang beredar bebas dan membanjiri sosial media, mampu membungkam seluruh narasi dan opini yang semula ingin mencari sandaran legitimasi untuk menerapkan kebijakan politik isolasi dan alienasi terhadap IB HRS. Buntutnya, sampai Mahfud MD terpaksa menyebutkan IB HRS dengan sebutan ‘Habib’, IB HRS dipersilahkan pulang, meminta Polri tidak berlebihan dan sekaligus mengawal IB HRS hingga sampai ditujuan.

Perubahan sikap Menkopolhukam Mahfud MD bukan berangkat dari kesadaran dan keinsyafan. Melainkan, karena terdesak dan digulung oleh gelombang opini publik. Sehingga, desakan publik itu mampu membimbing lisan Mahfud MD untuk memuliakan IB HRS dengan sebutan ‘Habib’. Hanya ya itu, tetap waspada karena dinamika politik itu cepat berubahnya.

Jadi, siapapun Anda yang rajin beropini di sosial media, meskipun hanya melalui tweet, like, share, coment, jangan anggap remeh aktivitas Anda. Aktivis tersebut, jika menyatu dan membesar, akan mampu menjadi gelombang opini yang dapat menenggelamkan narasi dan opini yang diedarkan oleh rezim. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News