Indonesia dalam Pusaran Cengkeraman Politik AS dan Cina

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

[Catatan Diskusi Cangkru’an Cak Slamet, dalam Segmen Kajian Malam/Kalam]

Penulis merasa terhormat dan bangga, bisa hadir dalam satu forum diskusi bersama Pak Dr. Fuad Bawazier (Mantan Menteri RI & Pakar Ekonomi – Politik) dan Bang Muslim Arbi (Pengamat Politik), mengambil tema “Indonesia dalam pusaran Cengkeraman Politik Amerika dan China”. Agenda tersebut, dilaksanakan pada Senin malam, 09 November 2020 / 24 Rab’ul Awwal 1442 H, Pukul 19.30 – 21.00 WIB.

Seperti biasa, Cak Slamet Sugianto bertindak sebagai Host. Tema ini diangkat, seiring meningkatnya eskalasi politik di wilayah laut China Selatan dimana beberapa kali kapal-kapal nelayan Cina melakukan pelanggaran-pelanggaran wilayah zona ekonomi eksklusif sebagaimana diatur UNCLOS (200 mil laut dari pantai).

Pilpres Amerika, juga menjadi latar belakang tema diskusi karena ada beberapa pihak menduga akan ada perubahan politik luar negeri Amerika, termasuk terhadap Indonesia. Lebih lagi, belum lama ini Menlu Amerika Mike Pompe berkunjung ke Indonesia dan diantaranya bicara tentang wilayah laut Cina Selatan.

Amerika pada akhir-akhir ini memang terlihat aktif untuk memprovokasi negara kawasan khususnya yang berbatasan dengan wilayah laut Cina Selatan, untuk bergandengan tangan menjaga kedaulatan laut berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS). Sejumlah Negara kawasan seperti Thailand, Malaysia, Philipina, Jepang, dan Indonesia menekankan pentingnya China menghormati batas wilayah laut negara kawasan berdasarkan UNCLOS.

Hanya saja, Cina mengklaim memiliki hak untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayah laut Cina Selatan dengan mengklaim wilayah perairan laut Cina berdasarkan Nine Dash Line. Yakni Sembilan garis putus-putus yang digambar oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengenai klaim wilayahnya di Laut Cina Selatan, meliputi Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly yang dipersengketakan dengan Filipina, Tiongkok, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

Cina yang mengeluhkan aksi Amerika yang memprovokasi Negara kawasan juga mengatakan tetap berkomitmen menjaga hubungan baik dengan negara kawasan berdasarkan Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai , yang dikenal sebagai Perjanjian Panchsheel: Non-campur tangan dalam urusan internal orang lain dan menghormati integritas dan kedaulatan kesatuan teritorial satu sama lain.

Meskipun ikut memprovokasi negara kawasan, Amerika sejatinya seperti Cina yang juga belum meratifikasi UNCLOS sehingga Amerika merasa tak terikat dengan batasan wilayah laut yang diatur didalamnya. Karenanya, kapal-kapal perang Amerika dapat bebas memasuki perairan wilayah laut Cina Selatan. Dalam konteks itulah, sebenarnya bangsa Indonesia wajib waspada baik terhadap Cina juga Amerika.

Masalah Kedaulatan Laut, De Jure dan De Facto

Masalah kedaulatan laut tak hanya soal hukum dimana setiap Negara wajib menghargai dan menghormati batas wilayah teritorial dan wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara lainnya. Tetapi juga persoalan, siapa negara yang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan kekayaan hayati laut serta seluruh potensi kekayaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Indonesia mengalami dua problem sekaligus. Pertama, problem rongrongan kedaulatan yang saat ini secara provokatif dilakukan Cina. Beberapa kali kapal nelayan Cina melakukan aktivitas perikanan di wilayah ZEE Indonesia.

Kedua, problem kemampuan bangsa ini untuk melakukan eksplorasi sekaligus eksploitasi sumber hayati dan kekayaan alam laut yang berada di wilayah ZEE Indonesia. Klaim kedaulatan menjadi tidak bernilai, manakala negara tak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan kekayaan alam laut yang dikaruniakan oleh Allah SWT.

Akhirnya, Indonesia hanya kebagian klaim kedaulatan secara De Jure, sementara De Facto Cina dengan kekuatan kapital dan kapasitasnya terus melakukan eksploitasi terhadap kekayaan laut Indonesia di wilayah perairan laut China Selatan.

Dua problem kedaulatan laut, baik De Jure maupun De Facto ini tidak mendapatkan solusi yang jelas. Akhirnya, Indonesia nampak lemah menghadapi provokasi Cina di wilayah ini.

Selain itu, kebijakan politik penguasa yang pro Cina, justru terlihat seperti melakukan pembiaran. Bahkan, seolah melegitimasi. China juga hanya memberikan kebanggaan kedaulatan semu kepada Indonesia. Misalnya, saat Presiden Jokowi berkunjung ke Wilayah Perairan Natuna, kapal kapal Cina menyingkir sebentar, hanya untuk memberikan ‘Panggung Kedaulatan Laut’ kepada Presiden Jokowi.

Amerika dan Cina, Keduanya Negara Imperialis

Perlu disadari, baik Amerika maupun Ciina keduanya adalah sama-sama negara penjajah. Meskipun, penjajahan itu jelas tidak menggunakan metode klasik dengan unjuk kekuatan secara fisik dan militer.

Penjajahan era modern dilakukan dengan modus pinjaman utang, Perjanjian Kerjasama, infiltrasi politik, intervensi perundang-undangan, dan berbagai tindakan yang pada pokoknya menjadikan negara terjajah sebagai sumber bahan baku sekaligus pasar bagi produk industri yang dihasilkan Cina maupun Amerika.

Karena itu, pandangan Amerika dan Cina akan nampak pada sikap atas kepentingan dan ancaman yang dipahami keduanya. Perbedaan dan persamaan pandangan itu menyebabkan Cina dan Amerika saling dukung sekaligus saling konfrontasi.

Amerika dan Ciina sama-sama memahami Islam adalah ancaman ideologis bagi eksistensi penjajahan mereka. Pada sejumlah narasi melawan Islam, Cina nampak mengaminkan bahkan ikut mengadopsi cara Amerika melakukan serangan politik terhadap umat Islam.

Cina juga menggunakan isu Radikalisme dan Terorisme untuk menekan dan merepresi muslim Uighur, sebagaimana Amerika juga melakukan hal yang sama kepada dunia Islam. Baik Amerika maupun Cina, aktif berkampanye untuk memasarkan Islam yang mereka sebut sebagai toleran, liberal, Islam Demorat, Islam moderat, dan sejumlah istilah lain yang dikehendaki agar sejalan dengan misi ideologi penjajahan.

Islam dan umatnya bagi Amerika dan Cina adalah ancaman potensial yang akan menghalangi bahkan mengusir eksistensi penjajahan mereka terhadap dunia Islam.

Adapun terkait isu laut Cina Selatan, penguasan kapling jajahan, isu demokrasi dan HAM, baik Amerika maupun Cina saling menyerang. Bahkan, Cina membalas konfrontasi Amerika saat terjadi demo rasialis menyebar di penjuru Amerika, setelah sebelumnya Amerika menyerang Cina pada isu kebebasan di Hongkong.

China dan Amerika saling berebut pengaruh negara kawasan di perairan laut Cina Selatan untuk saling menghegemoni. Sayangnya, untuk isu agitasi negara kawasan, Amerika lebih unggul ketimbang Cina. Amerika mampu memobilisasi isu kedaulatan laut berbasis legitimasi UNCLOS untuk mengisolasi Cina di laut Cina Selatan.

Melihat realitas yang demikian, bangsa ini harus melihat Amerika dan Cina sebagai negara penjajah yang tidak mungkin melakukan aktivitas selain untuk memuluskan imperialisme sebagai sarana untuk melindungi kepentingan nasional mereka, baik menjaga pasokan bahan baku untuk industri mereka, maupun ketersediaan pasar untuk menyerap hasil industri mereka.

Sikap Yang Harus Diambil

Ketika memahami bahwa Amerika dan Cina adalah penjajah, maka bangsa ini tidak boleh condong kepada keduanya, baik secara sadar ada di salah satu pihak, maupun tak sadar sedang ditarik menjadi bagian pihak lainnya. Pada kasus kedaulatan laut Cina Selatan, secara nasional melakukan aktivitas penjagaan kedaulatan berbasis INCLOS memang kewajiban bangsa demi melindungi kepentingan nasional. Namun, secara tidak langsung Indonesia ‘memasukan diri’ berada di kubu Amerika, dan negara kawasan lainnya, untuk merealisasikan politik isolasi Amerika yang sedang diberlakukan atas Cina. Amerika, sedang memprovokasi negara kawasan untuk menjadikan Cina sebagai ‘musuh bersama’ berdasarkan isu kedaulatan laut berbasis legitimasi UNCLOS.

Indonesia, wajib membangun politik luar negeri yang berakar pada basis ideologi yang jelas. Indonesia, tak boleh masuk (meskipun faktanya telah terjebak dalam) lingkaran penjajahan ideologi kapitalisme Amerika. Indonesia, juga tak boleh larut dalam kendali kekuatan ideologi neo komunisme Cina.

Indonesia tak hanya disibukan dengan keributan dilepas pantai laut Cina Selatan, tetapi juga patut meributkan penjajahan Amerika atas tambang emas di Papua, sejumlah tambang minyak dan banyak SDA Indonesia lainnya yang dikangkangi Amerika. Kedua negara penjajah ini, harus diperlakukan sebagai penjajah bukan malah diposisikan sebagai ‘True Friends’.

Dan harapan agar Indonesia bisa mandiri, bisa berdikari, bisa berkuasa penuh baik secara De facto Maupun De Jure, hanya ada pada Islam. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, insyaAllah negeri ini akan benar-benar berdaulat dan mampu memanfaatkan kekayaan alam karunia Allah SWT, untuk menyejahterakan segenap rakyat di negeri ini

Simak berita dan artikel lainnya di Google News