Oleh: Muhammad Chirzin
Pak Din, demikian sapaannya, adalah Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta.
Sejak muda Pak Din yang lahir pada 31 Agustus 1958 ini telah aktif berkecimpung di organisasi. Ketika masih di kampung halaman Sumbawa, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama.
Merantau ke pulau Jawa Pak Din nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, tempat Dr (HC) KH Idham Kholid, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr (HC) KH Hasyim Muzadi, Cak Nun, Dr. Hidayat Nur Wahid, Kiai Lukman Hakim Saifuddin, dan Dr. Yudi Latif menuntut ilmu.
(Pak Din kakak kelas penulis tiga tahun).
Wajar bila alumni Gontor ada yang menjadi Ketua PB NU, Ketua PP Muhammadiyah, dan Ketua Umum Partai Politik berbasis Islam, maupun menjadi Menteri Agama dan tokoh masyarakat, karena mereka dididik untuk menjadi perekat umat, dengan semboyan mau dipimpin dan siap memimpin. Di samping itu Pondok Gontor memiliki semboyan, “Di atas dan untuk semua golongan.”
Pondok Gontor tidak berafiliasi pada salah satu organisasi sosial keagamaan tertentu.
Prof. Din Syamsuddin tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah setelah periode M. Habib Chirzin, Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode, dan Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, sebelum periode Prof. Dr. (HC) Ma’ruf Amin.
Prof. M. Din Syamsuddin adalah konseptor Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Konsep tersebut disampaikan Pak Din pada Pidato Kebangsaan 18 Agustus 2011 di PP Muhammadiyah, dan Pidato 1 Juni 2012 di MPR.
Prof. M. Din Syamsuddin adalah juga penggagas Khilafah Peradaban, bukan Khilafah Politik, dalam konteks keislaman, kekinian, dan keindonesiaan.
Prof. M. Din Syamsuddin menjadi Ketua Dewan Penasihat MUI Pusat sejak 2015, dan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) sejak 2007.
Pak Din juga aktif di berbagai organisasi tingkat internasional, antara lain sebagai Ketua World Peace Forum (2006-sekarang), Co-President of World Conference of Religions for Peace (WCRP) USA (2006-sekarang); President Moderator of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) Japan (2007-sekarang); dan Advisory Forum of King Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KACIID) Austria (2015-sekarang).
Bersama Jenderal Gatot Nurmantyo dan Prof. Dr. Rochmat Wahab, Pak Din menjadi Trio Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bersama mereka para deklarator terdiri atas tokoh-tokoh nasonal yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, pendidikan, sosial, politik, maupun keagamaan yang mempunyai kepentingan dan kepedulian sama: menyelamatkan Indonesia dengan meluruskan Kiblat Bangsa.
Masyarakat yang peduli telah mendeklarasikan KAMI di berbagai propinsi, kabupaten maupun kota, bahkan di Amerika dan Australia.
Atas gerak dan langkah KAMI sebagai gerakan moral, berbagai pihak merasa tidak nyaman dan terganggu kepentingannya. Terbukti, usaha deklarasi KAMI di beberapa daerah dirintangi dan digagalkan.
Deklarasi KAMI terakhir yang dibubarkan oleh aparat keamanan adalah di Jambi (Jum’at, 30/10/2020) setelah Prof. Dr. Rchmat Wahab menyampaikan orasi. Jenderal Gatot batal menyampaikan orasi sebagai salah seorang dari Tiga Serangkai Presidium KAMI, sekalipun beliau telah tiba di lokasi.
KAMI juga dituduh sebagai gerakan politik berbaju moralitas yang berkepentingan dengan jabatan dan kekuasaan.
Siapa pun yang menyimak naskah piagam deklarasi KAMI dengan saksama tidak akan menemukan orientasi politik, jabatan, dan kekuasaan yang dituduhkan.
Atas segala tuduhan miring tersebut Pak Din tak segan-segan menyatakan pandangannya secara tegas dan lugas kepada siapa saja, termasuk kepada Jenderal Moeldoko.
Belakangan beredar info di media sosial bahwa Pak Din telah dilaporkan oleh pihak yang mengatasnamakan Alumni ITB kepada yang berwajib dengan tuduhan melakukan enam pelanggaran.
Masyarakat luas patut bertanya, pertama, mengapa segelintir Alumni ITB begitu getol ingin menggusur Prof. M. Din Syamsuddin?
Setelah gagal menggusurnya dari keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena ditolak mayoritas alumni lain, mereka kini melaporkan Pak Din ke BKN dan KASN dengan tuduhan melanggar Kode Etik Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme, tetapi sikapnya justru radikal dan ekstrem (melampaui batas).
Kedua, tentang keanggotaannya di MWA ITB. Sebenarnya sejak Ramadhan/Mei 2020 lalu Prof. M. Din Syamsuddin sudah mengembalikan amanat ke Senat Akademi ITB yang mengundang dan memilihnya menjadi Anggota MWA. Baginya, di tengah jabatan yang banyak di tingkat nasional maupun internasional, jabatan di MWA ITB dianggap mulia, namun kalau tidak efektif dan kondusif, lebih baik dikembalikan kepada pemberi amanat, yakni Senat Akademik ITB.
Ketiga, kalau sekarang kaum radikal itu mau menggusurnya dari status ASN (Prof. Din adalah Dosen/Guru Besar ASN di UIN Jakarta), maka jika dipecat Prof. Din tak akan rugi dan kariernya pun tak akan berhenti. Banyak universitas di luar negeri yang mau menerimanya sebagai Visiting Professor. Bahkan 170an Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia insyaallah siap menampungnya. Tapi jelas, UIN Jakarta akan kehilangan seorang Guru Besar satu-satunya di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta.
Keempat, apa yang dicari oleh kaum radikal itu? Apakah mereka membawa kepentingan rejim yang merasa terganggu dengan kritisisme Prof. Din selama ini, ataukah ada kepentingan lain dari pertarungan ideologis di ITB antara yang pro kepentingan Islam dan kelompok yang anti?
Demokrasi membutuhkan dialog. Pemerintah memerlukan oposisi sebagai pengontrol aksi.
Demokrasi juga memberikan ruang ekspresi dan kebebasan akademik yang bertanggung jawab.
Demi waktu sepanjang sejarah.
Sungguh manusia benar-benar rugi.
Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan.
Saling mengingatkan pada kebenaran.
Saling mengingatkan pada kesabaran.
(QS Al-‘Ashr)
Yogyakarta, 1-11-2020