Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Publik menyangsikan tindakan kepolisian yang menangkap dan menahan Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dkk, sebagai tindakan yang murni bertujuan menegakkan hukum. Sebab, langkah itu tidak dilakukan secara equal pada tindakan serupa atau yang lebih berat jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dkk.
Apalagi, pasal yang digunakan adalah pasal hoaks dan pidana SARA sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana dan pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi serta transaksi elektronik (ITE). Dua pasal ini adalah pasal karet yang banyak menjerat aktivis dan ulama di era Jokowi.
Adapun orang seperti Ade Armando, Abu Janda hingga Deni Siregar, tak pernah ditangkap atau minimal diperiksa karena telah menyebar hoaks dan menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA. Padahal, ujaran tiga orang ini yakni Ade Armando, Abu Janda dan Deni Siregar, jauh lebih sadis dan menimbulkan keresahan ditengah publik, ketimbang dengan apa yang disangkakan kepada Jumhur, Syahganda dan Anton.
Apalagi, jika dikaitkan dengan perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dkk. Perlakuan terhadap para tersangka ini menuai kritik dari sejumlah kalangan, salah satunya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini merupakan anggota DPD, Jimly Asshiddiqie.
“Ditahan saja tidak pantas apalagi diborgol untuk kepentingan disiarluaskan. Sebaai pengayom warga, polisi harusnya lebih bijaksana dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Carilah orang jahat, bukan orang salah atau yang sekedar ‘salah’,” cuit Jimly dalam akun Twitternya @JimlyAs (16/10/2020).
Menjawab kritikan tersebut, penyidik tak memberikan dasar hukum atas tindakan. Hal mana, penting untuk menjadi sandaran legitimasi hukum dan menghindari perilaku abuse of power. Serangkaian tindakan yang dilakukan Polri, termasuk dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan semestinya terikat dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Didalam KUHAP diatur secara rinci, bagaimana tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik agar tidak melanggar hukum. Semua tindakan, dibatasi secara limitatif dan dibuat kerangka acuan agar penyidik tidak salah mengambil tindakan.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, disebutkan :
_“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”_
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara garis besar mengenal 3 (tiga) tahapan pemeriksaan perkara pidana yaitu , Tahap Penyidikan, Tahap Penuntutan dan Pemeriksaan di Pengadilan yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Sementara itu, dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkap 14/2012”), dasar dilakukan penyidikan adalah:
a. laporan polisi/pengaduan;
b. surat perintah tugas;
c. laporan hasil penyelidikan (LHP);
d. surat perintah penyidikan; dan
e. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Adapun terkait gelar perkara dan ekspose, didalamnya tidak memuat perintah atau wewenang terhadap penyidik untuk memamerkan Tersangka didepan media, memborgol dan/apalagi status dan pribadi tersangka diketahui publik. Tak ada satupun pasal KUHAP yang memerintahkan penyidik melakukan konferensi pers dengan membawa tersangka turut serta, dengan atau tanpa perlakuan di borgol.
Karena itu, amat aneh pernyataan Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono yang menegaskan perlakuan terhadap Syahganda Nainggolan dkk diperlakukan sama seperti tersangka lain. Semestinya, polisi menjelaskan dasar tindakan, berdasarkan ketentuan pasal peraturan perundang-undangan. Bukan berargumen pada praktik yang diketahui publik juga tidak sama.
Jika maksud dari diperlakukan sama, itu dipersamakan dengan pelaku narkoba, maling jemuran, atau yang semisalnya, apakah penyidik juga memperlakukan sama terhadap kasus korupsi ? Bahkan, dalam kasus Joko Tjandra, petinggi Polri yang terlibat masih bisa mengenakan seragam resmi polisi saat melalui tahapan penyidikan.
Brigjen Prasetijo Utomo saat diserahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur (Jaktim) bersama Anita Kolopaking dan Joko Candra, tanpa borgol dan masih menggunakan seragam polisi kebanggaannya. Diberitakan media, Djoko Tjandra dan Anita nampak mengenakan baju tahanan berwarna orange dan juga masker. Sedangkan Brigjen Prasetijo Utomo mengenakan baju seragam Pakaian Dinas Lapangan (PDL) cokelat serta masker biru. (28/9/2020).
Apa bedanya Jumhur Hidayat dengan Brigjen Prasetijo Utomo dihadapan hukum ? Apa bedanya Syahganda Nainggolan dengan Brigjen Prasetijo Utomo dihadapan hukum ? Apa bedanya Anton Permana dengan Brigjen Prasetijo Utomo dihadapan hukum ?
Bukankah, sesuai konstitusi Pasal 28D menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ?
Bukankah tindakan memamerkan Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dkk, dalam satu konferensi pers, lengkap dengan borgolnya tidak dilakukan terhadap Brigjen Prasetijo Utomo ?
Bukankah, tindakan memamerkan Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dkk, dalam satu konferensi pers, lengkap dengan borgolnya, melanggar asas legalitas ? Darimana dasar hukum atau pasal berapa UU apa yang memberikan wewenang Penyidik memamerkan tersangka didepan publik, bahkan publik se Indonesia ? Kalau ini prosedur resmi, apakah seluruh perkara penyidikan di ekspose sedemikian rupa ? Apa hubungannya dengan penyidikan ? Apakah, dengan ekpose terbuka akan menguatkan unsur pidana dalam pembuktiannya ?
Bukankah tindakan memamerkan Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dkk, melanggar asas praduga tidak bersalah ? Marwah anak bangsa dilecehkan, padahal belum ada vonis pengadilan terhadap perkara ini.
Bagaimana jika perkara dihentikan karena tidak cukup bukti ? Bagaimana jika vonis hakim kelak menyatakan Syahganda dkk tidak bersalah ? Apa yang akan dilakukan oleh polisi untuk memulihkan harkat dan martabat orang yang telah dijatuhkan dihadapan publik ?
Dahulu, penyidik sangat berhati-hati. Menyebut nama tersangka saja dengan inisial, khawatir melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Sementara perlakuan polisi terhadap Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dkk, jelas telah mengadili dan memvonis melalui perantaraan media, sehingga jatuhlah Marwah dan wibawa mereka. Mereka, telah divonis jauh sebelum vonis palu hakim diketok di pengadilan.
Tindakan seperti ini wajib dikoreksi, agar tak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Setiap tindakan penyidik, wajib berdasarkan kekuatan UU. Mereka, diberi wewenang oleh hukum dan UU untuk menegakkan hukum dan keadilan, bukan pamer kekuasaan dan menyalahgunakan kewenangan (abuse of power).