Oleh: Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH.
Di Negara demokrasi seperti Indonesia, memang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpendapat, berpolitik, dan bebas untuk mengkoreksi serta mengkritisi jalannya pemerintahan. Hal ini baik bagi perlindungan hak masyarakat dan jalannya pemerintahan, namun sayangnya kebebasan dalam demokrasi itu dijadikan alat politik kekuasaan yang agitatif dan destruktif bagi sekelompok masyarakat .
Bagi pihak yang mengincar kekuasaan yang sah, kebebasan berpendapat menjadi corong untuk membuat kegaduhan, sehingga tak salah masyarakat jadi berprasangka buruk terhadap kinerja dan kebijakan pemegang kekuasaan saat ini. Suhu politik sengaja dibuat panas, dari dimunculkannya “politik identitas”, promodial, hingga rasialis. Kegaduhan-kegaduhan sengaja diciptakan untuk diproyeksikan kepada masyarakat, seakan-akan segala kesulitan adalah akibat “tidak becusnya” pemerintah dalam mengelola negara.
Sebagian masyarakat seperti tumpukan kertas kering, yang cepat terbakar di percikan api para pengincar kekuasaan. Ironisnya agama pun ikut dijadikan bahan bakar. Membuat gaduh dilakukan dengan berbagai macam cara, ada yang m dalam diam namun sibuk menebar kebencian melalui jaringan dunia maya, ada yang terang-terangan menghujat dan menghasut di depan umum tapi merefleksikan dengan cara yang beretika, sebagian bahkan mengahasut dan turut dalam demonstrasi yang merusak, sehingga menimbulkan korban dan kerusakan ada faslitas umum. Maka tidaklah heran jika kata seperti “bunuh, gantung,” dan kata-kata kotor kerap terdengar di berbagai aksi demo saat ini.
Ya, politik sengaja dibuat gaduh. Bahkan kegaduhan tersebut harus dinikmati masyarakat, agar terjadi konflik. Dan konflik membuat bangsa menjadi tercerai berai, maka api akan sangat mudah digunakan untuk membakar hingga bertindak secara reaksional liberal. Hal-hal semacam ini lah yang menjadi senjata bagi “mereka” untuk mewujudkan agenda yang penuh konsesus terselubung dalam merebut domunasi kekuasaan.
Kegaduhan politik yang tercipta menjadi senjata untuk mengguncang rezim yang sedang berkuasa. Terlihat dalam berbagai unjuk rasa, problem yang dipermasalahkan kadang tak lagi penting, hanya untuk memperlihatkan kekuatan besarnya untuk memecah belah demi membentuk opini publik. Sayangnya sebagian masyarakat dan mahasiswa turut terjaring dalam pusaran politik kekuasaan.
Dapat disadari, pertentangan dan kegaduhan yang diciptakan tidak pernah fokus pada substansi, apabila pemerintah dapat mengcounter tuduhan-tuduhan, maka kegaduhan akan berpindah substansi ke hal lain, begitu seterusnya, seakan-akan kegaduhan dikembangbiakkan agar tidak pernah selesai.
Aturan dan prosedur hukum tak lagi menjadi halangan bagi pembuat kegaduhan untuk menyalurkan ambisinya, bahkan di saat kondisi kesahatan yang mengkhawatirkan di masa pandemi ini, masyarakat tetap diboyong dan didorong untuk berbuat kegaduhan. Disamping itu, belajar dari sejarah, politik yang gaduh kerap berdampak pada stabilitas ekonomi. Energi bangsa telah terkuras untuk mengatasi Pandemi, dan mengupayakan perekonomian tetap stabil dikala goyangnya perekonomian negara-negara di dunia. Mereka yang mempunyai hasrat dan ambisi nafsu kekuasaan, seperti tak lagi peduli dengan bangsa, dan terus membuat kegaduhan politik. Kemudian menyerang sisa energi dengan memunculkan isu-isu yang tidak produktif, strategis pun krusial yang tidak henti diciptakan.
Benteng negara yang sejatinya berpegag pada satu komando, justru ikut gaduh dan terseret arus politik, dan menjadi tontonan masyarakat luas. bukan tidak mungkin aparat dan instansi lain selanjutnya yang akan “digaduh”, karana upaya beternak kegaduhan ini tampaknya belum akan selesai sampai agenda-agenda terselubung untuk perebutan kekuasaannya tercapai.
Meski pembuat Kegaduhan tidak akan pernah berhenti bertindak, kita rakyatlah yang harus bersikap tegas untuk menolak dipengaruhi. Tetap fokus dengan kesehatan diri, Negara tidak akan diam dan biarkan hal buruk terjadi.