Penangkapan terhadap sejumlah aktivis, selain Syahganda Nainggolan juga ada Anton Permana, Jumhur Hidayat dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari aksi 13 Oktober 2020 (Penolakan Undang-Undang Cilaka).
Demikian dikatakan Direktur Habib Rizieq Syihab Center (HRS Center) Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H dalam pernyataan kepada suaranasional, Selasa (13/10/2020).
Kata Abdul Chair, Syahganda Cs merupakan pengurus Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). “Oleh karena itu, pertanyaan seriusnya apakah penangkapan tersebut murni berdasarkan hukum, atau justru mengandung kepentingan politik,” ungkapnya.
Kata Abdul Chair, berdasarkan berita yang beredar luas di media sosial, Surat Perintah Penangkapan terhadap Syahganda Nainggolan didasarkan pada adanya Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan.
Diketahui bahwa Laporan Polisi tertanggal 12 Oktober 2020. Sementara Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada tanggal 13 Oktober 2020. Seiring dengan itu penangkapan dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2020.
“Menjadi pertanyaan, begitu cepatnya Sprindik, hanya berselang satu hari dari LP. Begitu juga dengan penangkapan di tanggal yang sama dengan Sprindik. Kondisi demikian tidaklah lazim dan sulit untuk dapat dimengerti,” ungkapnya.
Penangkapan menunjuk pada seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Terhadap tindakan penangkapan harus ada terlebih dahulu minimal dua alat bukti terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan.
“Dengan demikian, dalam proses penyidikan yang mengarah kepada penangkapan dipersyaratkan harus adanya minimal dua alat bukti. (Pasal 1 angka 20 Jo Pasal 17 KUHAP),” jelasnya.
Kata Abdul Chair, alat bukti tersebut yakni; Surat, Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli (Pasal 184 KUHAP). “Disini dipertanyakan apakah minimal dua dari tiga alat bukti tersebut sudah diperoleh oleh penyidik? Mengingat Sprindik diterbitkan sehari setelah LP, tentunya menimbulkan keraguan publik,” jelasnya.