Menanti Munculnya Generasi Abu Dzar – Abu Dzar Masa Kini

Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial

Dirasakan atau tidak, sekaligus disadari atau tidak, terasa menyesakkan dalam kehidupan keseharian kita saat ini tindak kezaliman telah kasat mata. Lebih parahnya lagi para pemangku kebijakan negeri, alih-alih berupaya mencegah sekaligus menegakkan hukum malah indikasinya telah buta, tuli dan bisu terhadap kezaliman yang terjadi.

Merasakan kondisi merebaknya kezaliman yang terjadi akhir-akhir ini, pada gilirannya akan membawa kita teringat akan sebuah prinsip hidup yang melekat dalam diri salah seorang sahabat Rasul SAW.

Dalam sejarah hidup para sahabat kita teringat tatkala Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, salah seorang sahabat Rasul bernama, Abu Dzar Al Ghifari menghadap Rasul dengan membawa rombongan orang-orang dari kabilah Ghifar dan kabilah Aslam yang sudah masuk Islam. Karena saking banyaknya, orang-orang yang melihat sempat mengira apa yang dilihatnya adalah pasukan orang-orang musyrikin. Tapi, ternyata yang memimpin rombongan tersebut adalah Abu Dzar.

Melihat kehadiran rombongan yang dipimpin Abu Dzar, Rasul pun menyambut mereka dengan menyatakan: “Kabilah Ghifar telah diampuni oleh Allah” dan “Kabilah Aslam telah diberi keselamatan dan kesejahteraan oleh Allah”. Sedangkan secara khusus kepada Abu Dzar, Rasul menyatakan: “Tidak akan pernah diketemukan di kolong langit ini seorang manusia yang sangat benar ucapannya, sangat tajam dan sangat tegas dalam hal mengucapkan kebenaran kecuali Abu Dzar”.

Jika Rasul SAW yang menyatakan hal tersebut, tentu merupakan jaminan kebenaran apa yang telah dinyatakannya.

Pertanyaannya, kenapa Rasul harus menyatakan demikian secara khusus kepada Abu Dzar? Jawabnya, tidak lain karena dalam diri Abu Dzar memiliki sebuah prinsip hidup bahwa: “Kebenaran itu tidak boleh bisu, kebenaran yang bisu bukanlah sebuah kebenaran”.

Dirasakan atau tidak, prinsip yang telah teguh dijadikan prinsip hidup sosok sahabat Rasul yang satu ini, kini, sudah mulai pudar, lentur dan luntur oleh sebagian para penegak kebenaran seiring kehidupan yang hedonisme yang telah mengelilinginya. Padahal, menurut Abu Dzar, kebenaran harus berbicara, tampak dan dinyatakan serta tidak boleh dipendam atau disembunyikan.

Hal ini merupakan sebuah pelajaran berharga bagi kita, karena saat ini tidak sedikit mereka yang telah buta, tuli dan membisu untuk menyatakan kebenaran, sehingga fungsi Al Qur’an sebagai Al Furqon (pembeda) mana yang haq dan mana yang bathil (QS. Al Baqarah,2:185) kini sudah sangat kabur karena membisunya orang-orang yang berilmu untuk menyatakan kebenaran.

Bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran, kebenaran itu harus terungkap walaupun untuk mengungkapkan kebenaran itu beliau harus menebusnya dengan nyawa sekalipun. Wahai, para penegak kebenaran, siapkah menyatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil dengan siap menerima berbagai macam risikonya?

Bagi para ‘Ulama sebagai panutan ummat, para pemangku kebijakan, apakah tidak ikut andil dalam kezaliman jika tidak sedikit ummat yang akhirnya terzalimi karena diamnya atau tidak beraninya para ‘Ulama dan para penentu kebijakan negeri untuk mencegah sekaligus menindak tegas bagi pelaku kezaliman?

Semoga segera muncul sosok-sosok Abu Dzar masa kini di negeri tercinta ini.

Wallahu a’lam.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News