Seperti diberitakan di media massa yang menyebutkan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja yang pertama kali dikemukakan Presiden Joko Widodo dalam pidato Pertamanya saat dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada Sidang Paripurna MPR-RI Oktober 2019 lalu, adapun UU tersebut memuat sebanyak 15 bab aturan, terbagi menjadi 186 pasal dengan total keseluruhan pasal yang diganti adalah sebanyak 1.203 pasal dari 73 Undang-undang terkait, demikian disampaikan Darius Prawiro Deusritus Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Pusat, kepada Suara Nasional saat ditemui di Margasiswa Jl.Sam Ratulangi, Jakarta Pusat, Jumat, (9/10/2020).
“Sejak awal pembahasan di DPR, PMKRI Cabang Jakarta Pusat, menolak terhadap Omnibus Law Cipta Kerja selain masalah yang terkait dengan persoalan rakyat, penolakan juga soal masalah azas kepatutan yg diabaikan dalam proses pembuatan suatu perundang-undangan,” ungkap Ritus.
Menurut Ritus, apabila di cermati dari aspek hukum, Menerapkan Omnibus Law di Indonesia merupakan sesuatu yang keliru. Bila di telaah lebih jauh, Omnibus Law merupakan sesuatu yang jarang ditemukan di negara-negara yang menganut civil law system -sistem hukum warisan negara-negara Eropa Continental. Negara dengan sistem hukum ini mengenal adanya kodifikasi hukum dan mengharuskan setiap aturan dibuat sedetail mungkin dan tidak bisa disederhakan. Ini akan berkaitan dengan Asas Legalitas (Anselm Von Feuerbach) : “Nullum delictum nulla poena sinepraevia lege poenali” yang dalam sistem hukum pidana kita diterjemahkan dalam Pasal ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Suatu Perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
“Hadirnya Omnibus Law Cipta Kerja dalam sistem hukum kita justru menimbulkan tanda tanya baru, Di mana posisi Omnibus Law Ciptaker dalam hierarki perundangundangan kita? Jika posisinya adalah setara dengan Undang-Undang, maka apakah Omnibus Law Ciptaker ini adalah adalah UU Payung atau UU yang berdiri sejajar (setidaknya) dengan 73 Undang-Undang terkait yang beberapa pasal di dalamnya diubah melalui Omnibus Law Cipta Kerja ini?”ucap Ritus.
Lebih lanjut Ritus mengatakan bahwa Proses Pembuatan Omnibus Law Cipta Kerja mengabaikan amanat UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, bagi kami adalah agenda gelap penguasa. Aturan besar dan rumit ini dilaksakan dalam diam, tanpa ada partisipasi publik. Ini bisa dilihat dari tidak dilibatkannya berbagai elemen, terutama mereka yang terdampak dalam pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Ini juga diperburuk dengan tidak didengarnya suara-suara elemen masyarakat yang menolak, yang akhirnya berujung pada pengesahan yang dikebut, dilaksanakan dalam diam dan tiba-tiba. Tidak salah jika pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja malah menimbulkan kegaduhan dan mendapat reaksi keras dari semua kelompok masyarakat.
“Omnibus law Cipta kerja ini cacat prosedur maupun cacat mekanisme, serta melanggar azas kepatutan sehingga tidak layak untuk di undangkan, karena itu kami Meminta Presiden Joko Widodo untuk TIDAK MENANDATANGANI Undang-Undang bermasalah ini atau mengeluarkan PERPPU Cabut Omnibus Law Cipta Kerja,” ujar Ritus.
Sementara itu, di tempat terpisah, R. Wahyu Handoko, S.Sos. MM mantan Ketua DPC PMKRI DKI Jakarta menegaskan perlunya semua pihak memiliki sikap yang arif bijaksana, menjaga etika, jujur berintegritas serta mengamalkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Apakah proses penyusunan, komunikasi dari para pihak dan analisa pemangku kepentingan telah dilaksanakan secara baik dan berintegritas? Jangan-jangan asal cepat ada UU semata-mata sekedar jargon menarik calon investor dan penyerapan tenaga kerja.
“Selain itu, Masalah UU Cipta Kerja ini yang juga perlu di perhatikan adalah persoalan ketahanan bangsa. Jangan sampai ada agenda tersembunyi yang membahayakan kepentingan bangsa dan negara, serta membahayakan kedaulatan negara,” pungkas R. Wahyu Handoko yang juga jebolan TAPLAI LEMHANNAS RI tahun 2019.