Maraknya aksi unjukrasa berbagai elemen masyarakat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law) di hampir semua kota di Indonesia, membuat Lieus Sungkharisma, koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) ikut angkat suara. Apalagi setelah aksi penolakan itu berdampak pada timbulnya kerugian moral dan material yang tidak sedikit.
Menurut Lieus, UU Cipta Kerja itu memang terkesan terlalu tergesa-gesa disahkan sementara sosialisasinya sangat minim. Padahal, katanya, di dalam 1000 halaman lebih draft RUU yang terdiri dari sebelas cluster itu, seperti menyangkut perumahan, perkebunan, pertambangan, peternakan, transportasi, energy, buruh/pekerja, pendidikan bahkan label halal dan lain-lain, masih banyak pasal-pasal yang kontroversial, tidak jelas dan multifatsir.
“Jadi pengesahan UU ini sangat terburu-buru, sementara tak ada penjelasan yang memadai baik dari pemerintah maupun DPR kepada rakyat. Wajar saja kalau rakyat kemudian menolak,” katanya.
Lieus mengaku sependapat dengan NU dan Muhammadiyah serta sejumlah tokoh agama yang menolak disahkannya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR pada Senin (5/10) itu.
“Tanpa sosialisasi yang memadai, wajarlah kalau masyarakat berpendapat UU ini memang berpotensi mengancam dan merampas ruang hidup rakyat kecil,” katanya pada wartawan.
Apalagi, tambah Lieus, hingga hari ini setidaknya sudah ada enam gubernur dan sejumlah bupati/walikota serta lembaga DPRD yang juga menolak UU itu. “Seharusnya penolakan ini menjadi masukan pada pemerintah untuk mengevaluasi substansi dari UU Omnibus ini,” katanya.
Oleh karena itu Lieus meminta Presiden Jokowi untuk tidak buru-buru melaksanakan UU ini. “Presiden Jokowi bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). Beliau pun bisa membatalkan UU yang menjadi usulannya ini. Pembatalan ini tentu saja demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemaslahatan bangsa dan negara ini,” tegasnya.
Menurut Lieus, untuk naskah UU setebal 1000 halaman lebih, yang mengatur banyak sekali persoalan di dalamnya, adalah sangat musykil dibahas hanya dalam beberapa bulan. “Tapi DPR justru membahasnya dalam beberapa bulan saja. Entah apa yang mereka kejar. Sebuah UU yang dibuat untuk kepentingan rakyat banyak, kok dikerjakan seperti supir angkot ngejar target setoran,” katanya lagi.
Yang membuat Lieus semakin kesal, akibat UU itu, kini tudingan masyarakat semakin deras diarahkan pada para pengusaha Tionghoa, seakan-akan UU itu pesanan para pengusaha Tionghoa.
“Padahal tidak semua pengusaha Tionghoa setuju dengan UU itu. Tapi setiap kali ada masalah di negeri ini, kita orang Tionghoa yang jadi sasaran kemarahan. Padahal tidak semua pengusaha Tionghoa setuju dengan UU itu,” tambahnya.
Maka, kata Lieus, untuk meredam aksi yang lebih besar, pilihan terbaik bagi Presiden Jokowi adalah membatalkan UU yang kontroversial ini. “Tarik UU Omnibus Law Cipta Kerja itu dan bahas lagi dengan suasana yang lebih tenang dan waktu yang lebih panjang. Saya berharap Presiden Jokowi bersedia membuka mata dan telinganya untuk mendengar aspirasi rakyat,” ujar Lieus.