Rezim Joko Widodo (Jokowi) penuh bopeng di antaranya merekrut manusia oportunis, merekrut para buzzer dan merekrut Menteri Agama yang tidak kompeten.
Demikian dikatakan Penasehat Majelis Mujahidin Klaten Sunaryo Purwo dalam perntaraan kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Kata Sunaryo, manusia oportunis adalah sosok yang dimanfaatkan Rejim Jokowi untuk memperkuat barisan pertahanan. Mereka ditempatkan di istana agar sewaktu-waktu bisa pasang dada melindungi tuannya dari serbuan kritik oposisi.
“Layaknya anjing herder yang siap menggonggong pada siapapun yang coba mendekat majikannya. Manusia oportunis punya gelagat menjilat ke atas sembari kakinya menginjak kawan di bawah. Bermuka manis di depan penguasa adalah kebiasaannya. Juga punya kecenderungan menjadi kutu loncat dan bunglon politik,” ungkapnya.
Menurut Sunaryo, keberadaan para buzzer bertugas menciptakan opini atau kontra opini agar wacana media selalu berpihak pada rejim. Media sosial menjadi gaduh karena manuver para buzzer ini.
“Mereka kurang cerdas memaknai lalu-lintas ide dalam alam demokrasi. Kritik pada penguasa mereka sikapi dengan cara keroyokan. Dan sebaliknya, pujian pada penguasa mereka sambut berlebihan juga dengan keroyokan. Slogan maju tak gentar membela yang bayar sangat tepat disandangkan pada barisan kegaduhan nasional ini.
Pada situasi normal dimungkinkan peran buzzer memberikan kontribusi positif bagi berlangsungnya dialog konstruktif. Namun yang berkembang sekarang memperlihatkan bahwa peran ini sudah bias. Dan sepantasnya negara bersikap tegas agar situasi tidak semakin keruh dan gaduh.
Sunaryo mengatakan, sosok Menag Fachrul Rozi yang tidak kompeten. Inilah menteri yang paling demen nyinyir terhadap umat Islam. Sosoknya mewakili kaum Islamophobia yang alergi dengan semua atribut dan simbol keislaman.
“Orang saleh yang mencoba taat pada syariat Islampun dicurigainya dengan stigma good looking, radikal, ekstrimis dan semacamnya. Kebijakan sertifikasi dai lebih karena keinginan politis untuk membentengi kekuasaan dari kritik. Dan bukan karena alasan menciptakan standar kualifikasi bagi para dai karena dia sendiri sebagai menteri yang seharusnya membina para dai jauh dari kualifikasi itu,” ungkapnya.
Sunaryo mengatakan, bila Fachrul Razi ngotot memaksakan kebijakan sertifikasi dai ini sama saja menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. “Rakyat ingin melihat wajah yang mulus pada orang no 1 di negeri ini,” pungkasnya.