Konflik Palestina & Pengalaman NU Mengelola Pluralitas

Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyah secara khusus meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membantu menggagalkan rencana Israel menganeksasi wilayah Palestina di Tepi Barat. Permintaan itu disampaikan pemimpin Hamas itu melalui surat dikirim ke Jokowi selasa lalu (2/6) sebagaimana yang dilansir albalad.id. https://albalad.co/palestina/2020A9968/surati-jokowi-pemimpin-hamas-minta-indonesia-gagalkan-rencana-aneksasi-israel-di-tepi-barat/.

Belum ada kabar tentang bagaimana respon Pak Jokowi. Dari surat itu, tersirat sikap Hamas yang sudah putus asa dengan sikap negara-negara Arab dan Turki dalam penyelesaian konflik di Palestina. Hamas pun memilih bekerjasama dengan Iran karena Iran bersedia memberi bantuan pelatihan militer dan persenjataan. Pada akhirnya, perbedaan madzhab harus dikesampingkan, demi mewujudkan perdamaian.

Tidak lama berselang, pemerintah Palestina melalui Duta Besarnya untuk Indonesia, Zuhair al-Shun, mengundang Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjadi pembicara Diskusi Virtual pada Senin (29/6) mendatang. https://www.nu.or.id/post/read/121020/palestina-undang-ketum-pbnu-jadi-pembicara-soal-perdamaian.

Kepercayaan pemerintah Palestina ini menunjukkan kepercayaan mereka bahwa pembelaan NU kepada Palestina lebih bersih, murni, orisinal dan proporsional ketimbang kelompok-kelompok radikal yang sejatinya cuma mempolitisir isu Palestina untuk kepentingan politik kelompok mereka.

Hamas dan pemerintah Palestina yang dipegang faksi Fatah, sulit bersatu. Di sana juga ada Hizbut Tahrir dan partai Komunis. Mereka saling berseteru, menjadikan Palestina bumi konflik sepanjang masa. Membuat mereka sulit bersatu melawan penjajahan Israel.

NU dinilai mampu, berpengalaman dan berhasil menjaga perdamaian di Nusantara, yang jauh lebih kompleks perbedaannya dibandingkan Palestina. Nusantara sangat plural. Namun, oleh NU pluralitas dipandang sebagai realitas yang tidak perlu dipermasalahkan.

Karena pluralitas adalah sunnatullah yang mesti dikelola dengan benar agar membawa kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan manusia. Bukan malah dijadikan alasan untuk membuat kerusakan dimuka bumi. Pluralitas tidak sepatutnya menjadi kambing hitam konflik antarumat beragama dan kelompok.

Dari sejak awal agama ini mewujud dalam sebuah Daulah Nabawiyah di Madinah, Rasulullah Muhammad Saw telah membuat perjanjian untuk mengelola pluralitas agar tercipta kerukunan dan keharmonisan kehidupan di Madinah. Perjanjian ini yang dikenal dengan nama Piagam / Konstitusi Madinah. Secara sosiologis saat itu di Madinah terdiri komunitas Muslim, komunitas Yahudi dan orang-orang musyrik.

Salah satu isi perjanjian itu berbunyi: “Bahwa bangsa yahudi dari bani ‘Auf merupakan sebuah umat bersama orang-orang yang beriman (muslim), bagi bangsa Yahudi agama mereka dan bagi umat Islam agama mereka….” Piagam Madinah ini merupakan pengakuan secara de jure Islam atas eksisitensi komunitas Yahudi dan otonomi keagamaannya.

Robert N Bella Sosiolog Amerika dalam buku Beyond Belief mengatakan, konstitusi Madinah ini “terlalu modern untuk ukuran zamannya.” Ketika wilayah daulah Islam meluas sampai ke Najran yang dihuni umat Kristen, negara Islam menjadi lebih pluralistik. Umat Kristen Najran tetap memeluk agamanya lalu Muhammad Saw memperlakukan mereka sama seperti Yahudi yaitu diberikan kebebasan beragama dan status otonomi untuk mengatur urusan keagamaan mereka.

Sikap politik Muhammad Saw ini termaktub dalam perjanjian dia dengan suku Najran yang berbunyi: “Suku Najran dan sekitarnya mendapat perlindungan Allah dan tanggungan Nabi Muhammad Rasulullah, atas diri mereka, agama, tanah, harta, yang hadir dan tidak hadir, rumah-rumah peribadatan dan salat-salat mereka. Mereka tidak berhak mengubah seorang uskup dari keuskupannya dan seorang pewakaf dari wakafannya, juga segala sesuatu yang ada di bawah kekuasaan mereka, sedikit maupun banyak….

Apabila diantara mereka menuntut suatu hak, maka diantara mereka berlaku keadilan tidak ada yang menzalimi dan dizalimi…Tidak seorangpun dituntut atas kesalahan pihak lain. Perjanjian ini menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya selamanya hingga Allah memutuskan ketentuan-Nya dengan syarat jika mereka tulus dan setia terhadap kewajiban mereka…”

Perjanjian-perjanjian sejenis juga dibuat Rasulullah Muhammad Saw kepada komunitas non Islam lainnya seperti dengan Bani Junbah di teluk Aqaba, Bani Ghadiya, Yahudi Bani Uraid, penduduk Jarba dlll. Sikap toleran Islam terhadap non Islam pasca Rasulullah Muhammad Saw dilanjutkan oleh para Khalifah setelah Beliau saw.

Jika akhir-akhir ini pluralitas antar umat beragama dan madzhab di dalam satu agama menjadi masalah maka bisa dipastikan bahwa itu bukan berasal dari ajaran agama. Pasti ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya. Guna tercipta perdamaian, persoalannya tinggal, apakah ajaran agama tentang toleransi mau ditegakkan atau tidak?! Termasuk di Palestina.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News