Insiden Monas yang terjadi pada tanggal 1 Juni 2008 terbilang insiden kecil yang bertampak besar lumayan besar bagi pergerakan Islam di tanah air. HTI dan FPI dua organisasi Islam pendatang baru yang muncul ke pentas nasional di masa Reformasi 1998 merupakan menyokong utama Forum Umat Islam (FUI). FUI sendiri merupakan wadah ormas Islam besutan HTI setelah Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) keempat 17-21 April 2005 di Jakarta. Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penyelenggara mengharapkan dari KUII ini bisa menghasilkan pemikiran-pemikiran solutif atas problematika umat, bangsa dan negara.
HTI memanfaatkan forum ormas dan ulama nasional itu untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka. Anggota HTI masuk jadi peserta KUII atas nama HTI dan pengurus MUI. Semua anggota HTI membawa misi organisasi di bawah koordinasi K.H. Al-Khaththath selaku penanggung jawab Lajnah Fa’aliyah DPP HTI. Di KUII 2005, anggota HTI aktif menyampaikan pendapat di forum resmi. Di sela-sela waktu senggang, mereka melakukan perbincangan-perbincangan informal dengan peserta dari utusan ormas yang lain.
KUII keempat berjalan lancar, menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah. Bagi DPP HTI, mengikuti KUII pengalaman baru sarat dengan peluang-peluang politik menuju terbentuknya kesatuan tubuh umat di bawah kendali HTI dalam rangka menegakkan Daulah Khilafah. Pasca KUII, melalui Lajnah Fa’aliyah, DPP HTI membentuk Forum Umat Islam (FUI). Lalu terbentuklah FUI yang berisi ormas, parpol dan lembaga-lembaga Islam, diketuai oleh Ust. Mashadi dan Sekjen Uts. M. Al-Khaththath.
Sejak itu FUI aktif merespon isu-isu aktual nasional. Pergerakan FUI sepenuhnya dalam kendali HTI. Isu apa yang akan direpon, bagaimana cara membentuk opini dan logistik yang perlu disiapkan pada aksi-aksi FUI semua tergantung DPP HTI. Sekjen FUI beserta pengurus FUI dari unsur HTI tinggal mengeksekusi keputusan yang diambil DPP. Dikemudian hari Ust. Mashadi mengundurkan diri sebagai ketua, praktis FUI dipegang Sekjennya.
HTI punya lajnah khusus untuk membangun jaringan dengan ulama, politisi, pejabat, pimpinan ormas dan lembaga Islam. Namanya Lajnah Fa’aliyah. Lajnah ini terbilang strategis bagi perjuangan politik HTI disamping Lajnah Thalabun Nushrah tentunya. Sehingga penanggung jawab lajnah ini harus seorang anggota HTI senior, berwawasan luas, pandai membangun komunikasi dengan pihak luar serta mencerminkan kepribadian politisi khas HTI.
Ust. Khaththath figur yang sangat tepat untuk posisi penanggung jawab Lajnah Fa’aliyah pusat. Di internal HTI, beliau anggota senior yang disegani dan popular. Setiap pemilihan anggota DPP, Ust. Khaththath selalu di posisi pertama peraih suara terbanyak. Dia jadi pimpinan tertinggi (Mas’ul ‘Am) Hizbut Tahrir di Indonesia sampai pertengahan Ramadhan 2004. Kemudian digantikan oleh Ust. Hafidz Abdurrahman. Ust. Hafidz Abdurrahman jadi Mas’ul ‘Am dari 2004-2010.
Ternyata dalam perjalanannya FUI dan Ust. Al-Khaththath lebih progresif dan popular di mata umat dibandingkan DPP HTI yang dikomandoi oleh Ust. Hafidz Abdurrahman. Lambat laun mulai terbentuk kubu-kubuan di internal DPP HTI, antara kubu FUI dan HTI, antara Ust. Khaththath dan Ust. Hafidz Abdurrahman. Keterlibatan HTI di FUI sempat dipersoalkan utusan Amir HT sewaktu kunjungannya ke Jakarta. Awalnya Ini hanya polarisasi lunak tapi kemudian mengeras dan puncaknya meletus setelah insiden Monas 2008.
Pada 1 Juni 2008 HTI didukung massa dari elemen-elemen FUI terutama FPI mengadakan Aksi Tolak Kenaikan BBM dan dukung SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah di depan Istana Negara. Di saat yang bersamaan Aliansi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) mengadakan acara memperingati hari kelahiran Pancasila di Monas. Tiba-tiba terjadi kericuhan yang berubah menjadi bentrokan antara massa AKKBB dan FPI.
Banyak versi yang beredar perihal latar belakang pemicu insiden Monas. Yang jelas Insiden Monas berbuntut panjang. Beberapa orang anggota Laskar FPI diciduk polisi. Habib Riziq dan Munarman dianggap pertanggung jawab atas kejadian itu. Akhirnya divonis penjara 1 tahun 6 bulan. Sifat culas DPP HTI menyeruak. Mereka rapat menyusun langkah-langkah cuci tangan dari peristiwa tersebut. Mereka membuat laporan ke Amir Hizbut Tahrir Syaikh Atha Abu Rusytah. Bermodalkan laporan utusannya dan dari DPP, Amir HT mengambil langkah ekstrim yaitu melarang HTI dan anggotanya bergabung dengan organisasi lain. Termasuk aliansi antar ormas seperti FUI.
Dengan alibi dapat perintah langsung dari Amir Hizbut Tahrir di Arab, HTI menyatakan keluar dari FUI. Jubir HTI, Ust. Ismail Yusanto tanpa merasa bersalah, dengan lantang menyampaikannya kepada ulama dan pimpinan ormas. Sontak hal ini membuat pimpinan ormas dan ulama di FUI marah kepada HTI. Sampai keluar pernyataan “HTI Munafik” dari mulut salah seorang ulama. Kemarahan para tokoh ini bisa dibenarkan karena HTI yang membuat FUI, kok ketika keadaan genting, mereka keluar. Dimana rasa tanggung jawab HTI?! Apa DPP HTI tidak memiliki jiwa kesatria?! Begitu kira-kira suara batin mereka.
Anggota HTI yang ada di FUI diperintahkah DPP HTI agar keluar dari FUI, termasuk Ust. Al-Khaththath. Mereka diberi ultimatum, bersama HTI atau FUI?!. Anggota HTI di FUI terbelah dua, ada yang memilih tetap di FUI, sebagian lagi memutuskan keluar FUI. Dalam kondisi terjepit dan posisi yang dilematis, seperti ini Ust. M. Al-Khaththath menunjukkan kelasnya sebagai pejuang politik Islam yang matang, berjiwa kesatria dan punya visi jauh ke depan. Beliau memilih tetap di FUI bersama umat dengan meninggalkan HTI yang telah Beliau bina dari nol. Beliau memilih berjuang bersama ulama, tokoh dan pimpinan ormas Islam, meninggalkan teman-temannya di DPP HTI. Berserta Ust. Al-Khaththath ikut pula keluar dari HTI, bendahara pusat, ketua DPW HTI Jakarta dan beberapa anggota lainnya.
Sekarang FUI murni FUI. FUI tanpa HTI. Di pihak HTI, DPP melakukan restrukturisasi. Posisi Ust. Khaththath sebagai penanggung jawab Lajnah Fa’aliyah diganti oleh Ust. M. Rahmat Kurnia dengan tambahan wewenang bisa berkomunikasi langsung dengan Amir HT. Dengan kebijakan Amir tadi, otomatis anggota HTI yang ada di MUI, NU, Muhammdiyah, Persis dan ormas lainnya, keluar. FUI dan HTI kemudian masing-masing berjalan sebagaimana mestinya.
Seiring perjalanan waktu sampailah pada klimaksnya di tahun 2016 – 2017. Ust. Khaththath bersama GNPF MUI, FPI dan ormas-ormas Islam yang lain berhasil mengadakan perhelatan akbar Aksi Bela Islam tanggal 2 Desember 2016 yang dihadiri 7 juta orang. Aksi fenomenal yang jadi berita di berberapa media massa dunia. Adapun HTI di tahun 2017 tepatnya tanggal 19 Juli mencapai titik anti klimaks sejarah mereka yaitu dibubarkan pemerintah atas masukan dari MUI, NU, dll.