Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menghalakan segala cara untuk mencapai semua program dan tujuannya.
“Sebagai gerakan moral saya kira tidak tepat melakukan langkah-langkah yang bisa disebut sebagai praktek menghalalkan segala cara,” kata politikus PDIP Kapitra Ampera dalam pernyataan kepada suaranasional di Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Kata Kapitra, gerakan KAMI telah menunjukkan upaya-upaya yang bertentangan dengan cara-cara yang moralistik dalam menaikkan simpati masyarakat terhadap gerakannya bahkan cenderung menghalalkan segala cara.
“Praktek menghalalkan segala cara sangat kontradiktif dan kontra produktif dengan cara-cara moralistik. Lebih baik tegas saja, jangan sebut gerakan moral,” katanya.
Kapitra menyebut bentuk nyata yang dipersoalkannya adalah jebakan terhadap Duta Besar Palestina untuk datang ke acara tersebut, yang mana dalam klasifikasinya, duta besar tersebut tidak mengetahui bahwa gerakan ini merupakan gerakan oposisi non-parlementer.
“Tindakan menjebak seperti ini memiliki implikasi yang sangat beresiko untuk duta besar tersebut karena dalam komunitas internasional, partisipasi dalam kegiatan politik internal negara adalah sesuatu yang dilarang,” katanya.
Kapitra memahami bagaimana perjuangan rakyat Palestina telah dikomodifikasi dan dipolitisasi oleh gerakan politik di Indonesia untuk menarik simpati politik demi kepentingan golongan tertentu.
“Ingin menunjukkan ke publik bahwa duta besar Palestina hadir dengan harapan agar mendukung, padahal seolah-olah saja. Ini adalah penghinaan terhadap perjuangan rakyat Palestina,” kata Kapitra.
Hal lainnya, Kapitra menyebut adanya undangan terhadap Meutia Hatta, putri dari deklarator kemerdekaan Indonesia Mohammad Hatta.
“Ini juga mengandung kerancuan yang mengakibatkan beliau tidak mengetahui tentang apa sebenarnya gerakan ini dan berimplikasi adanya tuduhan bahwa beliau juga berpartisipasi dalam gerakan ini,” katanya.
Dalam partisipasi gerakan, konsensualitas atau kesepakatan bergabung tanpa paksaan ataupun tipu muslihat merupakan hal yang paling penting, sehingga KAMI telah secara jelas menyalahi prinsip tersebut.
“Bilang saja gerakan politik, jadi lebih clear. Daripada mendeklarasikan diri menjadi gerakan moral, tapi menyampaikan tuntutan yang lebih bernuansa politis daripada moral,” katanya.
Apalagi, menurut Kapitra, substansi yang diangkat sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan gerakan masyarakat sipil yang ada di Indonesia dan konsisten dalam jalur non-politik.
Kapitra menyebut gerakan politik yang berkedok gerakan moral masyarakat sipil ini dapat berpotensi menggoyahkan stabilitas politik dan memberi narasi buruk bagi keterlibatan sipil (civic engagement) yang malah didominasi oleh aktor politik, bukan masyarakat sipil yang mewakili berbagai sektor. (Achsin).