Oleh: Adian Radiatus
Perjalanan umat Buddha di Indonesia banyak diwarnai berbagai keunikan yang dari waktu ke waktu memiliki catatan peranan sejarahnya masing-masing, namun tetap menjadi benang merah yang saling memajukan.
Dalam dekade tahun enam puluhan hingga tujuh puluhan perkembangan agama Buddha masih diwarnai kesederhanaan dari satu Vihara ke Vihara lain. Organisasi umat pun masih terbatas lingkungan sesama kelompok aliran masing-masing.
Namun perkembangan kemajuan mulai menemui jalan yang lebih luas dalam pembinaan umat pada tahun 2006 tepatnya di tanggal 3 Februari dengan kehadiran Direktorat Jenderal Agama Buddha yang langsung dibawah Menteri Agama.
Tentu perhatian pemerintah ketika itu tidak luput dari kesungguhan pembinaan umat Buddha yang dilakukan Perwalian Umat Buddha Indonesia atau Walubi yang terbentuk pada tahun 1978. Memang perjalanan yang panjang bila dikenang.
Para perintis dan pejuang organisasi nasional Buddhis itu tentu mencatat beberapa nama yang berjasa seperti alm. Oka Diputhera, alm. Pandit J Kaharuddin juga alm. Bhante Girirakhito Mahathera, serta puluhan nama lainnya baik di pusat maupun daerah.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan pesat kiprah Walubi mencapai titik terbaiknya ketika Walubi yang berganti inisial itu sebagai Perwakilan Umat Buddha Indonesia lengkap dengan hymnenya, dipimpin oleh ketua umum Siti Hartati Murdaya.
Dibawah SHM lah, demikian inisial nama Siti Hartati Murdaya, semua aliran agama Buddha yang mencapai puluhan organisasi itu dapat menyatu termasuk yang membawahi kelenteng-kelenteng sekalipun.
Aliran-aliran yang awalnya secara umum tidak diakui keabsahannya oleh tokoh dan umat dari mahzab utama ketika itu, dapat diakomodir dan mengembangkan pembinaannya masing-masing dengan begitu pesat dan harmonis. Termasuk tentunya dengan berbagai kalangan agama dan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Bila setelah masa emas kebersamaan itu kemudian melahirkan perbedaan manajemen kepemimpinan, tidaklah seharusnya diakhiri dengan pembentukan wadah baru wajah ‘lama’.
Sejatinya pemeluk agama Buddha memiliki cara khas kebijaksanaan yang mampu mengatasi perbedaan yang tumbuh diantara keharmonisan dengan melepas kemelekatan pada nama dan rupa duniawi semata. Umat patut mendapat teladan ini dari para tokohnya.
Tokoh yang bahkan sempat berseberangan dengan SHM pun, Lieus Sungkharisma, tetap mengapresiasi semua karya nyata dan sumbangsih pengabdian yang didedikasikan oleh Hartati Murdaya itu.
Filosofi Buddhisme jelas tidak menempatkan kesalahan atau kekeliruan urusan pribadi menjadi dasar menghapus budi baik yang dilakukannya bagi orang lain, kilah LS.
Catatan kiprah pengabdian Hartati Murdaya sesungguhnya adalah sebuah bagian jasa perjuangan yang patut dihargai setinggi-tingginya, terlepas dari sisi lainnya dan bukan untuk diabaikan oleh para penggiat Buddhis yang telah bersama manis pahit dalam perjalanannya…