Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagai bagian dari kelompok organisasi BUMN Pertamina, pada tanggal 15 Juli 2020 memasukkan pengajuan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebuah langkah yang tepat dan antisiipatif. Tidak lama berselang uji materi juga dilakukan oleh M. Kholid Syehrozi (Sekjen ISNU) pada tanggal 20 Juli 2020 dengan menyampaikan hal yang sama atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang revisi UU Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Langkah dan upaya kedua belah pihak ini adalah sebuah semangat nasionalisme masa depan dan bukan primitif terhadap penguasaan sektor ekonomi bangsa dan negara yang patut dan perlu didukung seluruh rakyat Indonesia.
Banyak alasan yang cukup kuat dan mendasar atas dukungan ini, dapat dirangkium setidaknya atas 2 (dua) hal, yaitu sejarah kapitalisme dan kolonialisme serta IPO BUMN kaitannya dengan konstitusi ekonomi.
Kapitalisme dan IPO BUMN
Penawaran saham perdana atau dikenal dalam Bahasa Inggris sebagai Initial Public Offering (IPO) bukanlah sesuatu yang baru dalam proses pemecahan saham (stock split) sebuah perusahaan swasta besar atau korporasi. Jauh sebelum ada badan pengelola yang saat ini bernama Bursa Efek (di Indonesia adalah Bursa Efek Indonesia/BEI) mengatur proses penawaran saham dan transaksi jual beli saham suatu perusahaan, pada abad ke-17 telah ada perusahaan swasta besar yang melakukannya. Jadi, soal IPO ini bukanlah cara atau pola yang baru sama sekali atau modern sebagaimana yang banyak disampaikan oleh berbagai analis pasar modal, ekonom, akademisi, bahkan para pejabat kementerian
Sebagai contoh, yaitu Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau disingkat VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. VOC adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. VOC merupakan (yang lain saat itu bernama GWC) merupakan persekutuan dagang atau korporasi swasta yang melanglang buana ke penjuru dunia (termasuk Indonesia dan terlibat dalam kolonialisme Belanda) dan ini perusahaan pertama kali yang meng “IPO” kan kepemilikannya ke publik.
Lalu bagaimana kaitannya dengan Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020 tentang susunan Direksi Pertamina yang baru dan restrukturisasi organisasi serta rencana IPO beberapa sub holdingnya? Disebutkan tugas Pertamina sebagai holding akan diarahkan pada pengelolaan portofolio dan sinergi bisnis di seluruh Pertamina Grup, mempercepat pengembangan bisnis baru, serta menjalankan program-program nasional. Sementara sub-holding akan menjalankan peran untuk mendorong operational excellence. Melalui struktur baru ini, diharapkan Pertamina dapat menjadi lebih lincah, fokus, dan cepat dalam pengembangan kapabilitas kelas dunia di bisnisnya masing-masing sehingga dapat mengakselerasi pertumbuhan skala bisnis untuk menjadi perusahaan energi terdepan dengan nilai pasar U$ 100 miliar serta menjadi penggerak pengembangan sosial pada 2024.
Tidak ada masalah soal keputusan restrukturusasi organisasi yang telah ditetapkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir dalam rangka efisiensi dan efektifitas organisasi Pertamina. Yang menjadi masalah adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membuat langkah IPO sub holding Pertamina justru akan membahayakan posisi Pertamina. Dalam UU No. 22 Tahun 2001, misalnya, Pertamina hanya merupakan operator yang menjalankan usaha, dan kondisi Pertamina saat ini berbeda dengan sebelumnya yang sangat kuat posisinya dalam UU Nomor 8 tahun 1971. Ketika berdasarkan UU No.8 Tahun 1971 ini, Pertamina adalah perusahaan negara yang mewakili negara, sedangkan pada UU No. 22 Tahun 2001 tidak lagi meewakili negara dan hanya menjadi layaknya sebuah persero bidang perdagangan.
Posisi Pertamina saat ini sangat rentan untuk diprivatisasi atau dijual sebagian sahamnya (stock split) dengan melakukan IPO seperti halnya rencana Erick Tohir atas sub holding Pertamina. Terlebih lagi UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberikan peluang adanya kepentingan pihak pemilik modal swasta dan asing turut campur dalam proses dan mekanisme IPO. Pernyataan pasal 72 pada huruf d, menjelaskan bahwa soal restrukturisasi dan privatisasi BUMN dilakukan dengan cara yang mudah, tak disebutkan ruang lingkup kepemilikan saham negara dan BUMN apa saja yang boleh diprivatisasi. Sedangkan pada Pasal 74 disebutkan pula maksud dari privatisasi adalah untuk memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero, dan tentu menjadi tanda tanya juga soal persentase masyarakat yang telah dan akan menguasai saham BUMN dimaksud.
Bahkan sebagian pihak menyatakan (termasuk ahli hukum Hikmahanto Juwana dan Yusril Ihza Mahendra) bahwa IPO sub holding tidak melanggar hukum tentu benar adanya jika mengacu pada UU tersebut. Tentu saja, jika kepemilikan 100% saham negara tidak lagi utuh atau diprivatisasi melalui IPO sampai 49% sekalipun negara masih menjadi pemegang saham mayoritas atau masih pegang kendali persero. Adalagi yang menyatakan alasan, bahwa dengan IPO atau saham berada sebagian ditangan publik, maka transparansi dan akuntabilitasnya lebih terjamin. Pernyataan ini jelas sesat pikir dan logika mengaitkan pemecahan saham melalui IPO dengan persoalan manajemen yang harus dipenuhi oleh semua perusahaan manapun jika ingin bekerjasama dengan pihak ketiga. Data faktual BUMN yang sudah IPO malah meninjukkan bahwa aspek transparansi dan akuntabilitas BUMN yang sudah diprivitasisai justru bermasalah, termasuk kinerjanya seperti kasus Garida Indonesia dan yang terakhir adalah Jiwasraya. Justru Pertamina, salah satu BUMN yang 100 persen sahamnya milik negara selama ini menunjukkan kinerja yang baik sehingga apa kemendesakannya (urgency) diprivatisasikan? Selain memberikan kemudahan privatisasi, pada Pasal 77 juga disebutkan dalam huruf d, bahwa Persero yang bergerak di bidang usaha sumberdaya alam tidak dapat diprivatisasi. Namun faktanya beberapa BUMN bidang ini telah diprivatisasikan meskipun tidak seluruh saham milik negara yang dilepas ke publik, seperti Perusahaan Gas Negara (PGN), Aneka Tambang, Inalum (yang menjadi Holding BUMN Pertambangan) dan lain-lain.
Tidak hanya itu, UU BUMN juga memberikan peluang adanya kepentingan pihak pemilik modal swasta dan asing turut campur dalam proses dan mekanisme IPO. Pernyataan pasal 72 pada huruf d, menjelaskan bahwa soal restrukturisasi dan privatisasi BUMN dilakukan dengan cara yang mudah, tak disebutkan ruang lingkup kepemilikan saham negara dan BUMN apa saja yang boleh diprivatisasi. Sedangkan pada Pasal 74 disebutkan pula maksud dari privatisasi adalah untuk memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero, dan tentu menjadi tanda tanya juga soal persentase masyarakat yang telah dan akan menguasai saham BUMN dimaksud Pertanyaan lain adalah apakah jika 100% saham negara atau tidak diprivatisasi, maka BUMN selama ini bukan milik Negara dan masyarakat sehingga perlu diprivatisasikan?
Selain memberikan kemudahan privatisasi, pada Pasal 77 juga disebutkan dalam huruf d, bahwa Persero yang bergerak di bidang usaha sumberdaya alam tidak dapat diprivatisasi. Namun faktanya beberapa BUMN bidang ini telah diprivatisasikan meskipun tidak seluruh saham milik negara yang dilepas ke publik, seperti Perusahaan Gas Negara (PGN), Aneka Tambang, dan lainlain. Multitafsir dan penyimpangan pasal-pasal dalam UU BUMN oleh Menteri BUMN selaku RUPS sangat berpotensi terjadi dan akan merugikan posisi strategis BUMN serta keuangan negara, sebagaimana kasus-kasus korupsi BUMN yang telah diprivatisasikan. Selanjutnya adalah bagaimana halnya dengan posisi anak usaha BUMN yang dibentuk untuk menunjang kegiatan operasional perusahaan induknya, yang selama proses pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 serentak (legislative dan presiden) menjadi perdebatan dan opini publik? Sebagian pihak menyatakan bahwa anak-anak usaha BUMN tak dapat dikategorikan sebagai BUMN, sedangkan pihak lain menyatakan sebaliknya. Menurut logika saja, apa mungkin anak-anak usaha akan ada apabila tidak ada induk usaha BUMN?
Publik juga harus memahami alasan mendasar Pasal 33 UUD 1945 (konstitusi ekonomi) tentang kepentingan perusahaan Negara atas cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta tidak serampangan atau gebyah uyah melakukan penolakan monopoli konstitusional atau alamiah ini. Termasuk sejarah nasionalisasi BUMN-BUMN yang berasal dari perusahaan-perusahaan swasta (korporasi) Belanda dan asing lainnya yang melakukan kolonialisasi pada Ibu Pertiwi. Dan secara konseptual terdapat perbedaan cukup mendasar antara korporasi swasta yang dimiliki oleh orang per orang dengan BUMN yang bukan perusahaan perorangan. Di antaranya yaitu, BUMN adalah entitas ekonomi dan bisnis yang merupakan mandat konstitusi ekonomi negara. Sangat jelas berbeda secara diametral dengan korporasi swasta dalam hal tujuan didirikan pertama kali yang tak hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi pemegang saham. Sesat pikir inilah yang harus dibenarkan secara hukum konstitusi ekonomi oleh Hikmahanto Juwana dan Yusril Ihza Mahendra terkait frasa penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Frasa kemakmuran rakyat inilah yang telah dilanggar oleh UU BUMN, UU Migas, UU Minerba dan UU Keuangan Negara dengan menafsirkan secara sempit mayoritas penguasaan negara hanya soal kepemilikan saham atas BUMN yang telah IPO kepada beberapa orang (swasta) yang mampu membelinya di pasar bursa dan mendapat porsi di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kepemilikan saham tersebut, termasuk pembagian keuntungan ekonominya.
Konstitusi Ekonomi Dan Laba
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perusahaan negara yang berasal dari proses nasionalisasi muncul dari semangat nasionalisme untuk melepaskan diri dari penjajahan ekonomi dan fisik. BUMN di era Orde Baru yang menjadi penggerak utama ekonomi dan agen pembangunan bangsa dan negara (agent of national development) bisa jadi hanya akan tinggal nama apabila tidak segera dibenahi. Berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat dan potensi hilangnya uang negara telah terjadi berkali-kali. Kasus mutakhir atas BUMN terjadi pada PT Jiwasraya (Persero). Berdasarkan keterangan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang telah melakukan penyidikan sementara terhadap dugaan korupsi oleh manajemen lama Jiwasraya hingga Agustus 2019 mencapai Rp 13,7 triliun dari pelanggaran tata kelola investasi produk saving plan Jiwasraya. Tidak hanya itu, berdasar data dan informasi dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) per Oktober 2019, jumlah perusahaan milik negara berjumlah 142 unit (badan hukum PT dan Perum), 115 unit diantanya adalah perseroan. Namun, beberapa BUMN yang merupakan entitas ekonomi dan bisnis serta merupakan mandat konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) tidak lagi seluruhnya saham negara 100 persen.
Peta Jalan (Road Map) yang dirancang oleh Tanri Abeng sebagai Menteri pertama saat pertama kali Kementerian BUMN dibentuk, membuat BUMN melakukan langkah yang menurut logika umum sesat pikir. Hal itu bukan hanya melanggar konstitusi (walau UU BUMN menyediakan frasa privatisasi), namun dengan membagi tahapan restrukturisasi BUMN melalui cara Korporatisasi – Profitisasi-Monetisasi – Privatisasi, tentu menjadi aneh, kenapa perusahaan sudah laba (profit) lalu dijual alias privatisasi? Ilmu dan konsep manajemen darimana yang diterapkan?
Setelah kebijakan Tanri Abeng inilah, salah satu BUMN, yaitu PT Semen Indonesia Tbk (SMGR, anggota indeks Kompas100) pada tanggal 8 Juli 2020 telah berusia 29 tahun sebagai emiten di pasar modal Indonesia. SMGR yang kala itu masih bernama PT Semen Gresik, merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang pertama, melantai di Bursa Efek Indonesia lewat penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO).
Pasca mendapat restu Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) lewat surat bernomor S-622/PM/1991 tanggal 17 Mei 1991, SMGR lantas menerbitkan prospektus IPO pada 20 Mei 1991. Dari dokumen prospektus IPO SMGR disebutkan bahwa SMGR menawarkan sejumlah 40 juta saham pada harga Rp 7.000 per saham. Dari aksi tersebut, SMGR mengincar dana segar Rp 280 Miliar. Setelah itu, mengacu pada data dan informasi Bursa Efek Indonesia, telah terdapat 20 unit BUMN yang terdaftar sebagai perusahaan terbuka (Tbk) terdaftar (listed company) yang sahamnya dapat diperjualbelikan kepada publik.
Salah satu yang perlu menjadi pertanyaan penting bagi publik adalah bagaimana cara dan proses memecah saham milik negara (rakyat) tersebut yang bukan merupakan saham orang per orang dan kepemilikan swasta? Sementara saham negara yang 100 persen pun tidak bisa dibagi begitu saja kepada individu-individu rakyat Indonesia. Maka, disinilah masalah IPO BUMN yang tidak bisa disamakan dengan IPO perusahaan atau korporasi swasta yang sahamnya milik orang per orang dan bisa dibagi berdasar lembar saham yang dipegang, termasuk dalam keputusan pembagian laba. Pada BUMN yang masih utuh 100 persen saham negara, maka seluruh keuntungan atau laba kegiatan usahanya atau dividen akan masuk utuh ke kas negara. Tidak demikian halnya dengan BUMN yang sahamnya sudah beredar di BEI, maka kalau ada laba tentu tidak lagi secara utuh menjadi dividen yang masuk ke kas negara. Sebagai contoh, BUMN Inalum yang sahamnya 49 persen berada pada tangan orang per orang (swasta) atau BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Garuda Indonesia, maka jika ada laba pada persero ini hanya akan menjadi dividen bagi negara sejumlah 51% dari jumlah laba yang diputuskan akan dibagi. Siisanya, 49% adalah laba yang berbentuk dividen ini dibagi kepada pemegang saham yang memiliki saham BUMN itu di BEI.
Jadi, IPO BUMN tidak saja secara logika dan kesejarahan melanggar konstitusi ekonomi meskipun UU BUMN mengesahkannya, tidak berarti menjadi sebuah keabsahan. Terlebih IPO dengan alasan mencari dana dengan cara mudah, namun keuntungan atau laba BUMN sudah tidak diberikan atau ditujukan lagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, tetapi sudah terbagi sebagian hanya ke beberapa orang saja. Atas dasar inilah alasan IPO tidak dapat dibenarkan dan sangat perlu dicurigai hanya untuk kepentingan orang per orang yang memiliki modal untuk menguasai sebagian saham BUMN dan rakyat banyak (konsumen) yang akan diabaikan dan dirugikan. Bahkan, apabila BUMN kesulitan keuangan sekalipun dalam mengembangkan usaha atau bisnisnya, maka sudah sewajarnya skema Penyertaan Modal Negara (PMN) ditempuh, bukan dengan mengIPOkan yang prosesnya sarat kerusakan moral (moral hazard) bagi kepentingan Negara dalam jangka panjang.
Menolak IPO BUMN bukanlah nasionalisme yang sempit, jika kita berpedoman pada konstitusi ekonomi dan perjalanan sejarah kolonialisme terhadap bangsa yang dimulai oleh penguasaan ekonomi oleh korporasi swasta Belanda yang membuat penderitaan para pekerja bumi putera dan anak bangsa. Soal nasionalisme dalam penguasaan cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh BUMN secara utuh ini justru sebuah cara pandang yang maju dalam menyelamatkan ekonomi bangsa dan negara agar tidak jatuh pada tampuk kekuasaan orang per orang yang menguasai modal. Maka, disinilah relevansi penguasaan negara secara utuh melalui BUMN di bidang ekonomi yang tidak hanya ditafsirkan dengan hanya memiliki saham mayoritas atas saham yang diIPO-kan, tapi penguasaan dan kepemilikan utuh atas perusahaan atau perseroan. Dan, belum ada bukti saat BUMN mengalami kesulitan keuangan atau merugi dalam operasinya, pemegang saham swasta di BUMN akan bertanggungjawab dan menanggung rugi juga? Cara dan model penguasaan ekonomi kapitalisme melalui IPO BUMN inilah yang sempit dan primitf.