Jangan Dukung Kerusakan Negara

Oleh: Adian Radiatus

Tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk bermasyarakat sesuai tradisi filosofi Pancasila yang “eka prasetya panca karsa” yaitu suatu tekad kuat untuk melaksanakan kelima sila Pancasila secara selaras dan serasi, tampaknya beberapa tahun ini mengalami ‘erosi’ yang cukup drastis. Memprihatinkan.

Kita menyaksikan sebuah perilaku kepemimpinan yang tidak memahami cara menjaga martabat bangsanya sejak 2014 akhir hingga kini. Amanat rakyat seakan hanya batu loncatan untuk menggegam kekuasaan semata. Sebab kalau benar tidak seperti itu, maka segala kisruh konflik diruang sosial politik masyarakat tidak menajam setiap saat.

Memakai buzzer yang berbiaya besar ternyata sama sekali jauh dari watak kebenaran seorang pemimpin. Merusak moralitas publik dan membangun perselisihan yang cenderung mengkotak-kotakan strata berpolitik dan sosial rakyat secara destruktif.

Bertebarannya pencitraan yang berlebihan ibarat ‘jauh bumi dari langit’ semakin membuat kewibawaan diri dimata masyarakat tercibirkan. Banyaknya meme sinisme yang tak terbantahkan menjadi bahan olok-olok dan tertawaan netizen menunjukan kebenaran akan arti yang terkandung didalamnya.

Bahkan analisa yang lebih mendalam menunjukan indikasi adanya pemimpin di atas pemimpin yang mengatur banyak hal, sehingga tampilan kepemimpinan asli tampak tidak menguasai substansi persoalan.

“Itu bukan urusan saya” adalah sebuah penggalan pernyataan yang termasuk populer tingkat memalukannya di kalangan netizen medsos.

Indonesia memang terasa sekali memasuki era ‘the country has no leadership’ beberapa tahun terakhir ini. Publik pun tahu ada bayang-bayang penguasa ‘untouchable’ yang mendahului ‘the real leader’. Jangan ditanya siapa saja, karena watak pura-pura telah tumbuh liar menyertai kekuasaan sejak 2014 ini.

Setelah pilpres 2019 yang ditengarai cacat Hukum dan Moral itu sehubungan dengan kebrutalan proses pemilihannya dan adanya SK MA itu, kini sejak memasuki tahun 2020 kepemimpinan semakin terasa hambar dan tiada menyentuh sanubari rakyat apapun.

Menjadi semakin tidak berarti kepemimpinan nya, ketika sebuah upaya maha bahaya untuk menggantikan Pancasila yang murni muncul melalui wadah RUU HIP yang sontak menggerak kan seluruh elemen masyarakat di tanah air.

Ratusan Ormas Islam besar dan kecil diseluruh tanah air, serta organisasi kelima Agama lainnya, juga berbagai kelompok independen termasuk Kelompok masyarakat Tionghoa dibuat tergetar bereaksi keras menolak dan meminta diberangus dari prolegnas DPR.

Kenyataan bertubi-tubi penuh dengan benih-benih kepahitan rakyat yang terakumulasi dari kepemimpinan yang sempat dijuluki ‘petugas partai’ memang saatnya mengevaluasi kemampuan diri sendiri.

Sudah jenuh dirasakan bagaimana masalah rakyat bukan terselesaikan, tetapi semakin membebani lahir bathin. Yang terasa hanya siasat-siasat mempertahankan kekuasaan semata-mata.

Tak akan pernah ditemukan sebuah negara yang rakyatnya secara umum sejahtera lahir bathin bila kepemimpinan tak menghadirkan rasa perlindungan yang dibutuhkan bangsanya.

Para sosok tokoh bangsa dan penggiat-penggiat kepedulian pada rakyat, hendaknya dapat berpikir dan berani menarik kesimpulan dengan hati nurani terdalam, akankah terus atau menghentikan langkah agar tidak menjadi bagian yang tanpa sadar turut mendukung kerusakan negara ini…

Simak berita dan artikel lainnya di Google News