(Ringkasan artikel *Kemewahan Politik Petahana dan Kecurangan Pilpres 2019*)
Oleh: Abdurrahman Syebubakar
Ketua Pengurus #IDe
Mengingat daya rusak-nya yang sangat luas dan berjangka panjang, membongkar kecurangan pemilu/pilpres menjadi suatu kebutuhan mendesak. Tidak saja untuk menggugat legitimasi politikus yang dimenangkan. Tetapi juga untuk mengingatkan publik agar terhindar dari terulangnya kejahatan politik elektoral di masa yang akan datang.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa pemilu/pilpres curang merupakan salah satu anasir paling menentukan dalam lingkaran setan politik, yang menggerogoti sendi-sendi politik kenegaraan dan kebangsaan kita selama ini.
Pilpres 2019 dengan calon inkumben Presiden Jokowi merupakan Pilpres paling curang pasca reformasi dan paling mematikan sepanjang sejarah politik Indonesia merdeka.
Selain indikasi kuat *kecurangan kuantitatif* yang gagal dibuktikan secara matematis oleh Mahkamah Konstitusi (MK), konstitusionalitas Pilpres 2019 cacat berat akibat *kecurangan kualitatif* yang terstruktur, sistematis dan masif, jauh sebelum hari pencoblosan.
Dalam artikel dengan judul *Kemewahan Politik Petahana dan Kecurangan Piplres 2019*, beberapa minggu pasca pencoblosan, saya memereteli tujuh kelompok modus kecurangan petahana, mulai dari jual beli suara hingga klaim bohong (hoax) atas capaian/kinerjanya.
*jual beli suara* dengan pelbagai modus diantaranya pembagian amplop dan percepatan pemberian THR serta gaji ke 13 bagi PNS, TNI, Polri dan para pensiunan
*mobilisasi anggota kabinet dan birokrasi* di pusat dan daerah termasuk mobilisasi kepala desa/lurah sebagai tim kampanye bayangan
*politik Sandra* terhadap kepala daerah yang diduga tersangkut kasus korupsi, berharap selamat dari jeratan hukum sehingga merapat atau terpaksa membelot mendukung petahana
*persekusi oposisi* dan *penegakan hukum diskriminatif* dengan mengeksploitasi penegak hukum, terutama polisi dan jaksa, untuk mengkriminalisasi kubu oposisi dan pihak pihak yang berseberangan dengan petahana
*kooptasi perguruan tinggi* dan *media mainstream* untuk menjegal kubu oposisi berinteraksi dengan kalangan kampus dan mengendalikan pemberitaan sehingga menguntungkan petahana, namun merugikan kubu oposisi atau kelompok-kelompok kontra petahana
*penggalangan dana kampanye* dari para taipan dan pialang politik dengan jual beli proyek-proyek pemerintah, terutama proyek infrastruktur fisik yang menjadi panglima pembangunan petahana
*klaim bohong atas capaian kinerja* yang didukung media oligarki untuk mengelabui rakyat atas kondisi sebenarnya sehingga kepercayaan dan kepuasan publik (approval rating) tetap terjaga
Yang sangat mengenaskan, sebanyak 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dalam melaksanakan tugas di Pilpres 2019. Kematian ratusan petugas KPPS ini menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan karena jumlahnya yang sangat besar dan tidak lazim dalam penyelenggaraan pemilu. Setidaknya, seperti terungkap dalam investigasi Komnas HAM, pemerintah mengabaikan perlindungan kesehatan bagi anggota KPPS.
Demontsrasi usai Pilpres pada 21-22 Mei 2019 juga merenggut nyawa 10 orang, sembilan diantaranya meninggal akibat tertembus peluru aparat. Sementara, satu orang akibat terkena benda tumpul. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 diantaranya anak-anak dan informasi hilang 32 orang (Komnas HAM, Oktober 2019). Dalam catatan akhir tahun 2019, Ombudsman menyebut Polri tidak kompeten, ada dugaan penyimpangan prosedur dan diskriminatif.