Penyiram Air Keras Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun, Lieus Sungkharisma: Rasa Keadilan Rakyat Dipermainkan Penegak Hukum

Tuntutan hukuman satu tahun penjara kepada dua terdakwa penyiram air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, mengundang reaksi banyak pihak. Padahal menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), kedua terdakwa yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.

Tuntutan hukum yang dirasa sangat ringan itupun mendapat reaksi keras dari Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma. Menurut Lieus, tuntutan JPU itu tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kedua tersangka kepada korban.

“Bayangkan, akibat perbuatan kedua anggota Polri itu Novel Baswedan harus menanggung cacat seumur hidup. Masak sih pelakunya cuma dituntut hukuman satu tahun penjara? Dimana letak keadilannya?” tanya Lieus.

Apalagi, tambah Lieus, kasus yang dialami Novel Baswedan bukanlah kasus kriminal biasa. “Ini kasus penganiayaan luar biasa terkait tugas Novel Baswedan selaku penyidik KPK. Novel pasti tidak akan disiram pakai air keras kalau dia bukan penyidik senior KPK,” ujar Lieus.

Karena itu Lieus meminta Jaksa Agung untuk mengevaluasi kinerja bawahannya yang menjadi JPU dalam kasus tersebut. “Bayangkan saja, setelah kasusnya berlarut-larut hingga berbilang tahun, begitu mulai terungkap siapa pelakunya kok malah tuntutan hukumannya sangat ringan. Kita jadi merasa keadilan hukum di masyarakat sedang dipermainankan oleh penegak hukum,” tegasnya.  

Seperti diketahui. Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, dua anggota Polri yang didakwa sebagai pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, dituntut hukuman satu tahun penjara oleh JPU dalam sidang yang digelar di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020). Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menyiram Novel menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4.

Sedangkan, Rony yang juga dituntut hukuman satu tahun penjara, dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya. Atas perbuatannya itu, Rahmat dan Rony dinilai telah melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.

Namun JPU menilai kedua terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Alasannya, cairan yang disiram Rahmat tidak disengaja mengenai mata Novel. Padahal, menurut JPU, cairan itu awalnya diarahkan ke badan Novel.

“Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja, artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi,” ujar JPU saat membacakan tuntutannya.

Menanggapi tuntutan JPU itu, Lieus menyebut terlepas dari motifnya dan unsur yang meringankan kedua terdakwa, tidak sepantasnya JPU menuntut kedua terdakwa dengan hukuman seringan itu. “Faktanya Novel sudah mengalami cacat permanen. Ini jelas kejahatan berat. Tuntutan JPU itulah yang kita anggap telah mempermainkan rasa keadilan rakyat dalam upaya penegakan hukum di negeri ini,” ujarnya.

Lieus mengaku, sebagai orang yang selama ini ikut aktif bergiat dalam upaya pemberantasan praktik korupsi, sangat prihatin dengan tuntutan hukum atas kejahatan yang dilakukan kepada penyidik KPK itu. “Jika seorang penyidik senior KPK saja tidak bisa memperoleh rasa keadilan, bagaimana pula dengan masyarakat?” tanyanya.

“Terus teras, jika tuntutan JPU itu dikabulkan oleh majelis hakim, ini merupakan preseden ancaman serius bagi siapapun yang kini bergiat dalam upaya pemberantasan korusi di negeri ini. Bisa-bisa besok kita yang akan mengalami nasib seperti Novel Baswedan,” tegas Lieus.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News