Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Belum genap sebulan pascapenetapan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditetapkan sebagai RUU “inisiatif” Dewan pada Sidang Paripurna bulan Ramadhan lalu, kini bergulirlah suara-suara penolakan rakyat bak bola panas sudah mulai bergulir.
Jika RUU ini atas “inisiatif” Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lalu tidak sedikit muncul penolakan rakyat atas RUU tersebut, maka patutlah dipertanyakan status para anggota dewan yang terhormat yang duduk di ruang yang terhormat pula saat ini dengan pertanyaan, Siapa Mewakili Siapa?
Kalaulah dari jumlah anggota dewan saat ini sebanyak 575 orang yang menurut aturan “konon” mewakili tidak kurang dari 192 juta-an lebih pemilih dalam Pemilu yang lalu, lantas produk RUU-nya ditolak rakyat yang “konon” diwakilinya, lagi-lagi muncul pertanyaan, Siapa Mewakili Siapa?
Kalaulah pula saat ini ada sembilan fraksi di lembaga yang “konon” terhormat ini mewakili sembilan partai, lalu hanya satu fraksi PKS saja yang menolak RUU HIP, benarkah suara rakyat pemilih dari delapan fraksi selain PKS terwakili?
Kini, tiba saatnya para anggota dewan yang terhormat yang konon mewakili suara rakyat pemilih untuk instrospeksi diri atas bergulirnya bola panas penolakan RUU HIP dari rakyat. Tak eloklah jika klaimnya mewakili rakyat tapi saat membuat produk undang-undang malah ditolak oleh rakyat yang diwakilinya. Lagi-lagi muncul pertanyaan, siapa mewakili siapa?
Tatkala dewan bersikukuh akan tetap mengukuhkan RUU HIP yang patut diduga bernuansa akan menghidupkan kembali paham komunisme di negeri ini menjadi undang-undang, maka layak pula diduga anggota dewan telah bisu dan tuli terhadap aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Manakala anggota dewan sudah bisu dan tuli akan aspirasi rakyat yang diwakilinya, maka tak dapat menyalahkan sepenuh kepada rakyat, jika kemudian muncul semacam aliansi-aliansi anti komunis di berbagai daerah di Indonesia.
Sebenarnya sangatlah sederhana dan mudah dicerna bagi yang masih memiliki logika akal sehat untuk menjawab pertanyaan, siapa mewakili siapa? Layakkah seseorang mengklaim dirinya telah mewakili seseorang atau sekelompok orang, lalu produk kerjanya ditolak oleh orang atau sekelompok orang yang diwakilinya? Jika jawabnya layak, maka itulah kehidupan seseorang di negeri aneh tapi nyata.