Demokrasi Ambyar di Tangan Jokowi

Oleh: Abdurrahman Syebubakar
Ketua Pengurus Institute for Democracy Education #IDe

SEJAK AWAL berkuasa, Jokowi bersikap tidak bersahabat dengan demokrasi. Tak lama berselang paska pelantikannya pada 2014, Jokowi mengambil pelbagai langkah dan kebijakan yang tidak konsisten dengan segudang janji politik yang ditebar saat kampanye. Pasalnya, dalam demokrasi, janji politik adalah “ikatan suci” antara pemimpin dengan rakyatnya.

Sebut saja, janji tidak menaikkan harga BBM. Pada November 2014, hanya dalam hitungan minggu, harganya naik dan diikuti kenaikan berkali kali. Juga janji membentuk kabinet ramping yang diisi kalangan profesional. Faktanya, postur kabinet Jokowi di periode pertama tetap gemuk dan dijejali kalangan partai politik.

Sudah tak terhitung banyaknya janji yang diingkari Jokowi. Janji hentikan impor daging, buy back indosat, tidak menambah utang, memperkuat KPK, dan lusinan janji lainnya tidak ditunaikan hingga berakhir periode pertama pemerintahannya.

Tidak sebatas ingkar janji, gejala otoritarianisme Jokowi semakin mengeras. Dia rajin mengkriminalisasi rakyat yang kritis dan kelompok kontra rezim. Untuk membungkam mereka yang tidak sejalan, segala siasat dimainkan seperti sandra politik, pemidanaan, bahkan ancaman pembunuhan. Hingga kini, sudah lebih 200 orang dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara dengan berbagai macam delik, mulai dari ujaran kebencian, pasal pornografi, hoax sampai tuduhan menghina presiden, pejabat negara dan melakukan makar.

Seturut dengan itu, tafsir Pancasila, nasionalisme dan NKRI dimonopoli ala rezim fasis. Atas nama Pancasila dan NKRI harga mati, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 diterbitkan untuk membubarkan ormas yang tak bersahabat dengan penguasa. Tanpa melalui proses pengadilan, korban pertama Perppu ini adalah Hisbut Tahrir Indonesia (HTI).

Saya tidak setuju dengan visi dan cita cita HTI, tetapi saya mengutuk pemberangusan hak konstutionalnya untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Selama mereka tidak memaksakan kehendak dengan jalan kekerasan. Rumus dasar demokrasi adalah pikiran dilawan pikiran, bukan dengan pembubaran.

Dunia pendidikan pun tidak luput dari tekanan untuk menjegal kubu oposisi berinteraksi dengan kalangan kampus dan lembaga pendidikan lainya. Saat gelaran pilpres tahun lalu, kubu penantang dilarang berkunjung dan berbicara di kampus, sekolah, dan pesantren. Sementara kubu petahana bebas berkunjung ke mana saja dengan menggelar berbagai macam acara.

Memang, Pilpres 2019 merupakan pilpres paling curang dan mematikan dalam sejarah politik Indonesia merdeka. Kecurangannya sangat masif dan vulgar, mulai dari politik uang, mobilisasi anggota kabinet dan birokrasi di pusat dan daerah, persekusi dan kriminalisasi tokoh oposisi, pemanfaatan anggaran dan fasilitas negara, hingga sandra politik beberapa tokoh yang diduga bermasalah secara hukum dan klaim bohong atas capaian kinerja.

Yang sangat mengenaskan, sebanyak 894 petugas pemilu meninggal dunia. Demontsrasi usai Pilpres pada bulan Mei 2019 juga merenggut nyawa 10 orang, sembilan diantaranya meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 diantaranya anak-anak dan informasi hilang 32 orang (Komnas HAM, Oktober 2019).

Dengan sederet peristiwa di atas, sebelum pilpres 2019, tak heran Indonesia dinobatkan sebagai demokrasi cacat berkinerja paling buruk, terjun bebas 20 peringkat diantara 167 negara (EIU 2018). Terancamnya kebebasan sipil menjadi salah satu faktor paling menentukan dalam kemerosotan kondisi dan peringkat demokrasi Indonesia. Setidaknya, kita membutuhkan 15 tahun untuk bisa kembali ke peringkat sebelum Jokowi berkuasa.

Selain itu, berdasarkan data Freedom House (2018), Indonesia mengalami defisit kebebasan, dari status *negara bebas (free)* menjadi *negara bebas sebagian (partly free)*. Sementara Timor Leste, negara yang lahir dari rahim Indonesia, naik peringkat dari partly free menjadi free pada 2018.

Lebih lanjut, meminjam perangkat *litmus test* Steven Levitsky dan Daniel Ziblat untuk mengidentifikasi politisi anti-demokrasi, Jokowi patut dinobatkan sebagai politisi otoriter. Dalam “How Democracies Die” (2018), kedua guru besar ilmu pemerintahan Universitas Harvard ini mengajukan empat indikator utama yang menandai politisi otoriter. Keempat indikiator ini hampir secara sempurna melekat pada diri Jokowi.

Pertama, menolak aturan main demokrasi seperti pembatasan dan pelarangan hak hidup organisasi tertentu. Kedua, menyangkal legitimasi oposisi dengan tuduhan subversif atau mengancaman keamanan negara. Ketiga, toleransi terhadap kekerasan dengan membiarkan/memfasilitasi pendukung dan para militer mempersekusi lawan politik. Dan terakhir, mengerdilkan kebebasan sipil seperti mengeluarkan UU anti-protes/pencemaran nama baik, meneror media dan suara-suara kritis.

Berkuasa melalui pilpres yang sangat curang, di periode kedua, Jokowi semakin alergi kritik dan bersikap represif terhadap rakyat yang bersuara sumbang. Lebih lebih legitimasinya tergerus karena gagal menangani dampak virus corona yang menghantam kehidupan sosial dan ekonomi rakyat bagai angin puyuh. Sementara, kondisi karut marut saat ini hanya lanjutan dari multi-krisis yang diproduksi rezim Jokowi sejak 5 tahun silam.

Sebelum Covid 19, kondisi Indonesia sudah sangat memperihatinkan. Rakyat miskin dan rentan miskin membludak mencapai 140 juta jiwa, 22 juta rakyat lapar kronis, ketimpangan sangat akut dengan segelintir orang super kaya menguasai kekayaan negara secara mutlak, utang negara menggunung, oligarki dan korupsi merajalela, kohesi sosial terkoyak, dan penegakan hukum diskriminatif.

Rezim Jokowi panik, tidak segan-segan membungkam suara kritis dengan segala cara termasuk melakukan teror dan memenjarakan mereka. Sebut saja, M. Said Didu, Ruslan Buton, Farid Gaban, dan Yudi Syamsudi dipidanakan hanya karena beruara sumbang kepada rezim. Jurnalis detikcom yang menulis judul berita tidak sesuai selera Jokowi pun diancam.

Terakhir yang cukup rame dan sangat memalukan, ancaman kekerasan terhadap penyelenggara dan narasumber diskusi virtual bertajuk “Meneruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” di UGM. Tidak saja melanggar HAM serta bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi, ancaman ini juga membunuh kebebasan akademik sebagai fondasi kemajuan bangsa.

Keculasan politik Jokowi juga terlihat dari upaya mengebiri KPK secara sistematis dan berkelanjutan, mulai dari kriminalisasi Ketua dan Wakil Ketua KPK pada tahun 2015 hingga revisi UU KPK yang memberangus kewenangan lembaga anti rasuah ini. Sekarang, KPK mati suri, tidak dapat mengusut korupsi politik seperti mega skandal Jiwasraya yang melenyapkan uang rakyat sebesar Rp.13.7 triliun. Jauh lebih besar dibandingkan kerugian negara dalam kasus BLBI dan Bank Century yang terjadi sebelumnya.

Di tengah karut marut penanganan Covid 19 yang menambah penderitaan dan kesengsaraan rakyat, daftar kejahatan demokrasi Jokowi terus berlanjut. Sebut saja, RUU Omnibus Law pesanan pemodal yang menindas hak-hak buruh, UU Minerba yang memanjakan korporasi serta mengancam lingkungan dan nasib rakyat, dan Perppu corona sebagai pintu masuk korupsi dan totalitarianisme.

Dengan Perppu corona yang telah menjadi UU, kekuasaan politik menumpuk di tangan eksekutif dengan mengenyampingkan fungsi lembaga audit serta merampas kewenangan pengawasan dan budgeting DPR. Atas nama penanganan dampak covid-19, UU ini memberikan imunitas mutlak kepada para pejabat negara sehingga tidak bisa dituntut secara hukum jika menyelewengkan uang rakyat yang jumlahnya ratusan triliun.

Alhasil, rezim Jokowi tidak saja membunuh demokrasi, tetapi lebih jauh dari itu. Telah menjelma menjadi *malevolent authoritarianism* (otoritarianisme jahat) yang ditandai sikap refresif, brutal dan korup.

*CATATAN KRITIS IDe#62
Institute for Democracy Education*
Jakarta, 2 Juni 2020

Simak berita dan artikel lainnya di Google News